Bom Ikan Mengkhawatirkan

  • Bagikan
KOLAKAPOS, Kolaka--Berbagai kasus penangkapan ikan dengan menggunakan bahan peledak, masih terus terjadi di wilayah perairan Kolaka. Bahkan para pelaku masih tak peduli terhadap dampak ledakan, yang menimpa berbagai jenis kekayaan hayati laut. Parahnya lagi, pelaku bom tak peduli apakah termasuk wilayah konservasi atau tidak. Menurut media officer, yayasan pelestarian laut dan pantai (Pelapa) Kolaka, M Darmawansya, ada beberapa lokasi yang rawan penggunaan bom ikan di wilayah laut Kolaka, diantaranya Lambasina Besar, Lambasina Kecil dan Pulau Buaya. "Hasil focus diskusion di Mangolo, kami mengidentifikasi beberapa persoalan pokok. Salah satunya tingginya aktifitas pemboman ikan di kawasan konservasi pencadangan suaka perikanan Kolaka. Kalau pembom ikan itu, kita pakai metode wawancara mendalam, dengan mewawancarai nelayan yang terdiri dari nelayan besar (pemilik bagang, red), nelayan tradisional, nelayan buruh, pengepul dan tokoh masyarakat nelayan. Disimpulkan aktifitas destruktif fishing di Kolaka masih tinggi, persentasenya itu di atas 70 persen," bebernya. Tak tanggung-tanggung, dalam sehari terjadi penangkapan ikan dengan merusak ekosistem di kawasan suaka perikanan Kolaka hingga dua kali. "Itu hanya bom saja, belum lagi penangkapan ikan dengan menggunakan bius dan racun. Dari situ saja sudah bisa diidentifikasi, kalau perencanaan pengelolaan kawasan konservasi perikanan daerah di Kolaka itu perlu dipertanyakan. Rambu-rambu batas kawasan konservasi perikanan daerah saja belum ada," cetusnya. Akan tetapi, ia juga sangat menyayangkan masing-masing komunitas nelayan di Kolaka yang saling tuding, penyebab maraknya pemboman ikan. "Menurut para nelayan, tidak pernah ada penyuluhan terkait itu (bom ikan, red) sudah tiga tahun. Pengawasannya juga tidak maksimal, karena Dinas Kelautan dan Perikanan cuman punya satu kapal patroli, itu satu bulan satu kali patrolinya, syukur kalau ada satu bulan satu kali. Sepertinya Kolaka harus study di Kolut, yang melaporkan pembom ikan itu dihadiahkan uang Rp10 juta. Penyuluhan itu kontinyu ke komunitas-komunitas nelayan. Konservasi karang juga sering," imbuhnya. Ironisnya, lima tahun lalu hasil tangkapan nelayan Kolaka sampai ke pasar Kendari, namun dua tahun terakhir sudah tidak ada. Kalau untuk ikan terinya, dipasarkan hingga ke Surabaya dan Makassar dengan harga yang terjangkau, tapi sekarang sudah tidak lagi. "Itu identifikasi dari tingginya aktivitas pemboman ikan di Kolaka, yang mempengaruhi pendapatan nelayan. Coba kita bayangkan susahnya hidup jadi nelayan," tutupnya. Sementara itu, Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kolaka, Syafruddin mengatakan, dasar UU 23 kawasan konservasi dan pesisir kelautan umumnya telah menjadi kewenangan pusat dan provinsi. "Sehingga secara teknis, pengawasan, perlindungan, penggangaran menjadi tanggung jawab pusat dan provinsi. Kewenangan kabupaten sisa perikanan budidaya," jelasnya. (wir)
  • Bagikan

Exit mobile version