Kejadian di Pilkada DKI Harus Jadi Pelajaran Semua Pihak
KOLAKAPOS, Jakarta--Iklim demokrasi menjadi tantangan bagi kemajemukan bangsa Indonesia. Pandangan itu datang dari ahli antropologi Kartini Sjahrir.
Kartini mengambil contoh kasus Pilkada DKI 2017 yang penuh dengan konflik. Bahkan, isu-isu berbau SARA sengaja dimainkan kelompok-kelompok tertentu.
Bahkan, Kartini menilai, perkembangan demokrasi baik di level daerah dan nasional justru menimbulkan konflik baru.
“Otonomi daerah bahkan mendorong pilkada rawan konflik horizontal,” kata Kartini dalam diskusi bertajuk Merajut Kebinekaan di Gedung Balai Kota DKI Jakarta, Selasa (16/5).
Kartini menilai, media sosial memiliki peran besar dalam membentuk pola pikir inteloransi.
Berangkat dari masalah itu, pendidikan mengenai wawasan kebangsaan di sekolah-sekolah menjadi suatu keharusan.
“Kejadian di pilkada DKI harus menjadi pembelajaran di semua pihak, dari mana asal usul bangsa Indonesia. Konflik atas nama agama atau ras adalah kebodohan,” ujar Kartini.
Dia meminta media massa, baik cetak maupun elektronik mengedukasi masyarakat tentang wawasan kebangsaan.
Kartini merasa prihatin dengan konflik selama Pilkada DKI Jakarta 2017.
Menurut dia, isu agama dan etnis telah menodai semboyan bangsa. Isu -isu negatif muncul selama kampanye DKI.
Isu tersebut bahkan mengatasnamakan agama dan etnis untuk menjatuhkan salah satu calon gubernur.
Bahkan, setelah pilkada rampung, isu -isu negatif ini masih terus berkumandang.
Menurut Kartini, sikap tersebut muncul karena konsep-konsep seperti toleransi, kebinekaan, identitas diartikan secara dangkal dan sederhana oleh kelompok tertentu.
Padahal, konstruksi sosial Bhinneka Tunggal Ika telah menjadi pedoman hidup bangsa dan bernegara, bahkan telah dipikirkan oleh para pendiri bangsa.
Bagi Kartini, letak geografis membuat Indonesia menjadi bangsa majemuk.
“Banyak gen (genetik) ikut budaya dalam budaya Indonesia. Mustahil, Indonesia menjadi masyarakat tertutup atau terisolasi karena memiliki keberagaman,” ujar Kartini.
Menurut Kartini, bila muncul isu negatif mengaitkan unsur pribumi dan nopribumi berarti telah terjadi kemunduran dalam pemikirian.
“Itu juga menunjukkan sikap lupa diri, siapa diri kita,” sambung Kartini.
Kartini meminta semua pihak tak mempermainkan kemajemukan atas nama agama, ras karena.
“Agama dan ras bukan untuk diperjualbelikan. Agama itu datang dari dalam diri,” ujarnya. (jos/jpnn)