Banjir di Kendari akibat Hilangnya Fungsi Lahan Basah
KOLAKAPOS, Kendari--Banjir besar yang kembali melanda Kota kendari pekan lalu (14/5/2017), tak lepas dari hilangnya fungsi lahan basah di Kota Kendari. Praktik mafia tanah diduga telah menyebabkan hilangnya sebagai besar lahan teluk yang dikenal sebagai “sabuk pengaman” Kota Kendari dari bencana banjir.
Praktik mafia tanah diduga telah membuat hilangnya sebagian besar areal di kawasan teluk Kendari, menyusul makin maraknya bangunan di sepanjang teluk kendari.
Di sisi selatan teluk Kendari misalnya, kawasan yang dulunya dipenuhi hutan mangrove kini satu persatu hutan mangrove tergusur dan dijadikan lokasi tambak dan pendirian bangunan. Bahkan, lahan seluas wilayah 32.389 hektar yang berada di jalan bay pass menuju PT Perikanan Samudra diduga telah beralih menjadi kepemilikan pribadi.
Motif bisnis telah menyebabkan, tanah teluk bak emas yang diperebutkan banyak orang. Ini ditandai dengan dibukanya berbagai usaha di atas tanah teluk, seperti rumah makan, karaoke serta pembukaan tambak. Kasus tanah di sekitar kawasan perumahan elit Citra Land menjadi bukti betapa tanah-tanah yang awalnya adalah kawasan hutan mangrove, kini telah gundul dan bebas diperjual belikan oleh oknum warga.
Ironisnya, pemerintah seolah ‘tutup mata’ melihat praktik pengambil alihan kawasan hutan teluk oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab .
Sejumlah organisasi LSM yang bergerak di lingkungan hidup di Kendari mengimbau agar pemerintah kota kendari peduli pada nasib lahan teluk yang kian hari jumlahnya terus menyusut itu.
Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Sultra menilai akibat pratik pembangunan di sepanjang bibir teluk memilik andil besar pada meningkatnya sedimentasi lumpur di teluk kendari. Pasalnya, aksi penimbunan tanah telah menyebabkan lingkungan pantai tercemar. “Praktik alih fungsi lahan teluk kendari merupakan problem serius bagi biodiversity di sana dan harus segera ditangani pemerintah kota,”kata Kisran Makati.
Walhi mengedus adanya mafia tanah yang melibatkan oknum-oknum di pertanahan. “Yang jelas pelakunya lebih dari satu, dan oknumnya itu-itu juga, pemain lama di intansi pertanahan,”kata Kisran Makati.
Ini didasari banyaknya kasus tanah bersertifikat ganda di Sultra. Hasil inivestigasi lapangan menunjukkan, jika penjualan tanah teluk umumnya menggunakan modus buka lahan tambak (pinjam pakai) selama beberapa tahun, yang kemudian lahan tersebut ditimbun sedikit-demi sedikit dan selanjutnya mendirikan bangunan rumah maupun rumah makan (usaha) di atas tanah tersebut. Nah , karena sudah merasa memiliki, beberapa oknum menjual tanah tersebut ke pihak lain. Ironisnya, pemerintah kota melalui badan pertanahan seolah tutup mata dengan praktik illegal tersebut. (p2/hen)