Rawan Korupsi, Pengadaan Barang BKKBN harus WTP

  • Bagikan
KOLAKAPOS, Makassar--Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulsel menggelar Pertemuan Kemitraan dengan Media Massa Lokal tingkat Provinsi Sulsel selama dua hari, 22-23 Mei di Hotel Denpasar Makassar. Pertemuan itu juga dirangkaikan dengan pelantikan pengurus Ikatan Penulis Keluarga Berencana (IPKB) Sulsel oleh Kepala Perwakilan Badan Koorsinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Sulsel, Rini Riatika Djohari. Kegiatan ini dimanfaatkan BKKBN untuk melaporkan ke media massa terkait perkembangan pembangunan kependudukan dan Keluarga Berencana di Sulsel. Rini mengatakan, jumlah peserta KB di Sulsel masih dibawah standar nasional. Berdasarkan sistem pencatatan dan pelaporan sampai bulan Maret, pencapaian peserta KB di Sulsel baru 41.925 jiwa atau 19,67% “Kondisi ini perlu disikapi karena dampaknya bisa mengakibatkan kematian ibu yang disebabkan karena kehamilan yang tidak diinginkan,” kata Rini. Dari aspek ketenagaan penyuluh KB di Sulsel juga masih menjadi masalah. Kata Rini, ada 1.403 penyuluh KB di Sulsel. Angka ini dinilai sudah cukup, hanya saja tidak merata. “Rasio 1:20 itu sudah cukup tapi pesebarannya belum merata. Bone, Tana Toraja, Toraja Utara merupakan kabupaten dengan rasio yang cukup tinggi. Kami harap kondisi ini dapat diperbaiki guna keberhasilan program KKBPK,” pungkasnya. Inspektur Utama BKKBN RI Agus Sukiswo meminta agar BKKBN Provinsi Sulsel harus terus memperkuat integritas untuk mencapai opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) sebagai sarana dalam mewujudkan zona integritas wilayah bebas dari korupsi. “Semua karyawan BKKBN RI perwakilan Sulsel harus kompak menyelesaikan berbagai permasalahan fokusnya di keuangan supaya kita bisa WTP tahun ini,” kata Agus saat menghadiri pertemuan kemitraan dengan media massa lokal tingkat provinsi Sulsel di Hotel Denpasar Makassar. Menurut dia, perolehan opini WDP yang diberikan oleh BPK ke BKKBN dikarenakan bukti pertanggungjawaban yang tidak valid, belanja barang tidak sesuai ketentuan, dan pengendalian pedoman KIE yang lemah. “Pertanggungjawaban tidak memadai, dan bukti pemeriksaan tidak cukup, mutasi persediaan tidak didukung dokumen dan pencatatan persediaan tidak bagus membuat kita selalu WDP,” tambah Agus, kemarin. Agus menambahkan, pengadaan alat kontrasepsi sangat rawan dengan korupsi. Adanya temuan BPK tahun lalu terkait indikasi korupsi alat kontrasepsi mengakibatkan BPK masih memberi opini WDP pada laporan keuangan BKKBN. Oleh karena itu, strategi yang tepat agar bisa memperoleh WTP, maka BKKBN Sulsel harus mendorong penyelesaian tindaklanjut temuan BPK-RI, yakni dengan meningkatkan kualitas laporan keuangan dan pengelolaannya. “Saya mohon pengelola alat dan obat kontrasepsi (alokon) di kelola dengan sebaik-baiknya mengingat temuan hasil pemeriksaan BPK pada tahun lalu masih memberi catatan terhadap pengelola alokon, sehingga BPK masih memberi opini WDP pada laporan keuangan kita,” jelasnya. Dalam rangka mewujudkan pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, katanya, harusnya ada keterbukaan informasi publik. (fajar)
  • Bagikan

Exit mobile version