Putusan Sengketa Pilkada Intan Jaya Janggal
KOLAKAPOS, Jakarta--Pakar Hukum Tata Negara Margarito Kamis menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilkada Kabupaten Intan Jaya, Papua janggal.
Terlebih, menurutnya, putusan MK yang mengikat dan final itu dinilai sesat lantaran ruang untuk mencari keadilan hukum sudah tertutup.
Akibat putusan tersebut, kata Margarito, sebagian besar masyarakat Intan Jaya yang mendukung paslon nomor urut dua Yulius Yapugau dan Yunus Kalabetme merasa dirugikan.
Paslon nomor urut dua menurut hasil penghitungan KPUD Intan Jaya yang dilakukan secara berjenjang adalah pemenang Pilkada 2017 yang tertuang dalam berita acara nomor 7/BA/KPU IJ/II/2017.
“Namun MK memutuskan lain, MK memenangkan paslon petahana yakni Natalis Tabuni dan Yaan Robert Kobogoyaw. Putusan itu jelas sekali sesat dan tidak konsisten,” kata Margarito dalam konferensi pers di Cikini, Sabtu (16/9).
Margarito menganggap, terdapat beberapa hal yang sesat terkait putusan MK tersebut. Pertama, MK memutuskan paslon petahana sebagai pemenang berdasarkan C1 KWK yang dihitung oleh MK saat rapat permusyawaratan hakim (RPH).
Namun hasil tersebut berbeda dengan jumlah daftar pemilih tetap (DPT) yang ditetapkan sebelumnya dalam Rapat Pleno KPUD Intan Jaya.
Hasil hitungan MK total suara sah di Distrik Wandai sebesar 14.509 sementara DPT-nya hanya 8.352. Di Distrik Homeyo, hasil hitungan MK total suara sah 18.079 sementara DPT-nya hanya 14.881.
Di Distrik Mbiandoga hasil hitungan MK total suara sah sebanyak 567, padahal jumlah DPT sebanyak 14.509.
“Ini kan menunjukkan bahwa data C1 yang diserahkan ke MK oleh Rafly Harun sebagai kuasa hukum nomor tiga adalah tidak valid dan penuh rekayasa. Kenapa MK masih menghitungnya? Kenapa tidak dicek dulu DPT-nya?" tanya Margarito.
Selain itu, Margarito menilai putusan MK tersebut juga tidak konsisten. Pasalnya dalam putusan sebelumnya, MK menggugurkan perolehan semua paslon hanya di tujuh TPS yang dinilai bermasalah yang kemudian MK memerintahkan dilakukannya pemungutan suara ulang di tujuh TPS tersebut.
Margarito menilai, suara semua paslon di luar tujuh TPS bermasalah itu bersifat final sebagai suara sah yang telah ditetapkan sendiri oleh MK.
“Seharusnya MK tinggal menghitung suara dasar tersebut dan ditambahkan dengan suara hasil PSU di tujuh TPS, namun kenyatannya tidak. MK malah menghitung ulang semua berdasarkan C1 yang tidak valid, artinya MK melanggar putusannya sendiri yang sebelumnya,” tegas Margarito.
Margarito membeberkan, perolehan suara seluruh paslon selain tujuh TPS bermasalah yakni paslon nomor satu adalah 8.636 paslon, nomor dua adalah 33.958, nomor tiga adalah 31.476 dan nomor empat adalah 1.928.
Perolehan suara tersebut harusnya ditambahkan dengan suara perolehan suara hasil PSU tujuh TPS di mana suara paslon nomor satu sebanyak 120, nomor dua sebanyak 1.076, nomor tiga sebanyak 2.048, dan nomor empat berjumlah nol.
Total suara paslon bila ditambahkan suara dasar dan hasil PSU maka seharusnya paslon nomor satu yaitu 8.756, nomor dua yaitu 35.034, nomor tiga yaitu 33.524, dan nomor empat yaitu 1.928.
“Namun MK dengan C1 KWK yang tidak valid itu memangkan paslon nomor tiga dengan suara 36.883 dan paslon nomor dua itu 34.395,” kata dia.
Akibat putusan yang sesat itu, Margarito menegaskan, MK harus menanggung dampak sosial yakni konflik masyarakat di Intan Jaya.
“Sebagai penjaga konstitusi harusnya MK memberikan keadilan kepada masyarakat, bukan justru menjadi pemicu munculnya konflik masyarakat,” pungkas dia. (Mg4/jpnn