BMKG Deteksi Lima Titik Api
KOLAKAPOS, Makassar--Wilayah Sulawesi Selatan saat ini telah memasuki puncak musim kemarau. Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memperkirakan puncak musim kemarau terjadi antara bulan Agustus sampai Oktober.
Puncak musim kemarau ini ditandai dengan suhu udara yang meningkat, terutama di bagian Barat Sulsel. Bahkan data dari BMKG wilayah IV Makassar, suhu maksimum tercatat sampai 36 derajat Celcius.
Prakirawan BMKG wilayah IV Makassar, Nur Asia Utami menyebutkan suhu tertinggi 36 derajat Celcius itu tercatat di dua daerah yaitu Kota Makassar dan Kabupaten Takalar.
“Puncak kemarau, untuk wilayah Sulsel puncak sudah terjadi Agustus sampai Oktober akhir, awal musim hujan nanri November Minggu kedua. Kemarin itu suhu ekstrem 36 derajat Celcius di Makassar dan Takalar. Ini sudah cukup ekstrim,” katanya.
Selain suhu, BMKG juga memantau beberapa titik api (hotspot). Di mana sejauh ini sejak bulan Agustus sudah ada beberapa yang terdata, bahkan di bulan September ini semakin mengalami peningkatan.
Data terakhir, Rabu 20 September tercatat lima titik hotspot yang tingkat kepercayaan mencapai 81-100 persen. Titik-titik ini tersebar antara lain, satu di Kota Parepare, satu di Kabupaten Sidrap dan tiga di Kabupaten Luwu Timur.
“Kalau di atas 80 persen sudah bisa dikatakan ada nyala apinya. Ini sudah kita koordinasikan dengan pihak BPBD dan Dinas Kehutanan. Khusus yang ada di Luwu Timur sudah terdata sejak Agustus lalu,” jelasnya.
BMKG menyebutkan penyebab suhu di Sulsel mengalami peningkatan dikarenakan adanya pergerakan angin yang memiliki massa udara kering. Pergerakan angin ini berasal dari arah Timur ke Barat.
Sementara itu, menghadapi cuaca yang cukup ekstrem saat ini, Gubernur Sulsel, Syahrul Yasin Limpo mengeluarkan instruksi khusus. Terutama mencegah dampak dari musim kemarau, seperti gagal panen dan kebakaran.
Syahrul meminta semua jajaran pemerintah sampai tingkat desa dan kelurahan agar melakukan deteksi dini atas ancaman musim kemarau. Bahkan dirinya tak ingin ada daerah yang kecolongan.
“Saya berharap sampai lurah dan desa, instansi terkait dari pusat sampai kabupate/kota memperhatikan iklim yang sangat ekstrim. Pokoknya jangan ada yang kecolongan,” katanya.
Khusus untuk masalah kebakaran hutan, Dinas Kehutanan dan instansi terkait lainnya agar segera menyiapkan langkah antisipasi. Jangan sampai nanti setelah kejadian, baru dilakukan persiapan seperti melakukan koordinasi.
Selain masalah kebakaran, hal lain yang ditakutkan oleh Gubernur dua periode ini juga mengkhawatirkan puso atau gagal panen. Untuk itu, Dinas Pertanian mulai provinsi sampai kabupaten/kota melakukan penyuluhan ke petani.
“Wali kota atau bupati harus memperhatikan kondisi cuaca di daerahnya. Dinas Pertanian harus melakukan perhitungan terkait tanaman yang akan ditanam, kalau airnya kurang sebaiknya disesuaikan, seperti mengganti padi dengan palawija,” jelasnya.
Muhammad Thamzil mengungkapkan Sulsel memang memiliki potensi hotspot kebakaran hutan dan lahan (karhutla) khususnya di wilayah Luwu Raya dan Kabupaten Gowa dengan lahan kritis seluas 96.575 hektare.
“Semua petugas sudah siaga termasuk posko dan satgas Manggala Agni. Tapi sejauh ini belum ada laporan kebakaran hutan yang masuk ke kami,” pungkasnya. (fajar)