Banyak Kepala Daerah Korupsi–Ketum Puja Kessuma : Pilkada Langsung Jangan Surut

  • Bagikan
KOLAKAPOS, Jakarta--Ketua Umum Putra Jawa Kelahiran Sumatera, Sulawesi dan Maluku (Puja Kessuma) Suhendra Hadi Kuntono menanggapi usulan dari sejumlah pihak, termasuk Gubernur DKI Jakarta Djarot Saiful Hidayat dan sejumlah anggota Komisi II DPR RI, agar sistem pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung yang sudah berlangsung sejak 2004 dievaluasi dan dikembalikan ke sistem tak langsung atau dipilih oleh DPRD. Usulan tersebut akibat banyaknya kepala daerah terlibat korupsi. “Jangan putar mundur jarum jam sejarah. Pilkada langsung jangan surut,” tegas Suhendra. Menurut Suhendra, tak menutup mata pilkada langsung menimbulkan high cost politics atau politik berbiaya tinggi, sehingga begitu terpilih yang pertama muncul dalam benak mereka bagaimana bisa balik modal. Akibatnya, gratifikasi dan korupsi menjadi jalan pintas, sehingga banyak kepala daerah dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Terbaru adalah penetapan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, Rita Widyasari, sebagai tersangka gratifikasi oleh KPK. Rita, bupati dua periode, yang juga putri mantan Bupati Kukar Syaukani Hasan Rais (alm), dijerat dengan Pasal 12B Undang-Undang (UU) No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah dengan UU No 20 Tahun 2001. Rita disangka menerima gratifikasi perizinan perkebunan kelapa sawit tahun 2010. Data KPK, sejak era otonomi daerah, sedikitnya sudah 19 gubernur dan 351 bupati/wali kota terlibat korupsi. Namun, kata Suhendra, jangan karena banyak oknum kepala daerah ditangkap KPK lalu demokrasi dan kedaulatan rakyat daerah dikebiri. “Jangan lupa, pilkada langsung juga banyak melahirkan kepala daerah berkualitas dan berintegritas. Itu terjadi karena ada seleksi langsung dari rakyat daerah,” jelasnya sambil merujuk contoh sejumlah kepala daerah berintegritas, serta Presiden Joko Widodo yang dipilih langsung tapi tak ada money politics (politik uang). Yang perlu diperbaiki, menurut Suhendra, adalah integritas, sistem dan pengawasannya, supaya kepala daerah tak ada celah untuk korupsi, termasuk sistem penganggaran dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dengan memakai e-budgeting dan sistem perizinan yang harus dibuat transparan dan akuntabel. Sistem pilkada juga perlu diperbaiki agar tak ada celah untuk money politics. “Ada dua faktor penyebab korupsi, yakni niat dan kesempatan. Ada niat tapi tak ada kesempatan, tak bisa korupsi. Ada kesempatan tapi tak ada niat, tak terjadi korupsi. Niat bisa dicegah dengan pengawasan dan pembangunan integritas, sedangkan kesempatan bisa ditutup dengan membangun sistem yang transparan, kredibel dan akuntabel,” papar pendiri Asosiasi Pekerja Bawah Air Indonesia (APBAI) ini. Lagi pula, lanjut Suhendra, tak ada jaminan pilkada tak langsung tak ada money politics. Contohnya Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang mengaku diminta mahar Rp10 miliar untuk dapat rekomendasi sebagai calon gubernur Jawa Barat pada Pilkada 2018. “Itu baru untuk parpol, belum untuk oknum-oknum anggota DPRD,” tutur Ketua Kelompok Kerja Perancangan Formulasi Peraturan Daerah Nasional 2016 bentukan Kementerian Hukum dan HAM yang merupakan inisiatif Puja Kessuma menyikapi moratorium dari Presiden Jokowi terkait ribuan perda bermasalah. Di sisi lain, kata Suhendra, sejumlah aturan juga perlu direvisi agar kepala daerah tidak terlalu bekuasa atau powerfull, bahkan ada kecenderungan kepala daerah menjadi raja-raja kecil, di antaranya Undang-Undang (UU) Otonomi Daerah yang meliputi UU Pemerintahan Daerah, UU Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan PemerintahDaerah, dan UU Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional. “Kewenangan kepala daerah yang powerfull banyak disalahgunakan,” cetus mantan Ketua Tim Penyelesaian Pelanggaran HAM Indonesia-Vietnam ini. Ia lalu merujuk ungkapan Lord Acton (1834-1902), “Power tends to corrupt, but absolute power corrupts absolutely (kekuasaan cenderung untuk disalahgunakan dan kekuasaan mutlak pasti dipersalahgunakan. “Kontrol terhadap kepala daerah memang perlu diperketat. Untuk itu perlu perbaikan sistem, bukan dengan menghapus pilkada langsung. Demokrasi tak boleh surut. Sekali layar terkembang, surut kita berpantang. Kita butuh 416 orang (kepala daerah) lagi yang bersih dan integritasnya seperti Presiden Jokowi,” tandas Suhendra. (fri/jpnn)
  • Bagikan

Exit mobile version