Kasus Djarot-Sihar Sitorus, Bangun: Kembalikan ke Regulasi

  • Bagikan
KOLAKAPOS, Jakarta--Memasuki tahun politik 2018 dan 2019, pemerintah akan menggeber sosialisasi regulasi pilkada dan pemilu 2019. Kasubdit Implementasi Kebijakan Politik Direktorat Politik Dalam Negeri Ditjen Polpum Kemendagri, Drs. Bangun Sitohang, MM, mengatakan, pihaknya juga akan menggencarkan pentingnya menjaga etika politik. Etika politik, lanjutnya, sangat penting dalam rangka membangun demokrasi yang sehat, tidak barbau SARA, dan menjadikan aturan perundang-undangan sebagai pijakannya. Dia khawatir, jika etika politik tidak dijaga, maka praktik berdemokrasi yang tidak sehat bakal mewarnai pilkada serentak 2018, yang digelar di 171 daerah dan juga pemilu serentak 2019. Dia memberi contoh kasus penolakan DPW PPP Sumut terhadap pasangan cagub dan cawagub Sumut, Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus. Juga DPC PPP Asahan yang menolak keputusan DPP PPP tersebut. Menurut Bangun Sitohang, sikap pengurus PPP di Sumut itu kurang tepat secara etika politik. “Jangan karena Sihar Sitorus bukan Islam lantas ditolak. Karena syarat pencalonan itu bukan agamanya yang dilihat, tapi bahwa dia warga negara Indonesia,” terang Bangun Sitohang. Lebih lanjut dikatakan, secara regulasi juga harus dipahami bahwa pengurus tingkat pusat alias DPP lah yang berhak untuk mengajukan pasangan calon. “Jadi kalau sudah diputuskan DPP, mestinya pengurus partai di daerah ya menerimanya. Ini masalah etika politik,” terangnya. Hal penting lain yang mendapat perhatian serius adalah soal pelaksanaan pemilu serentak 2019. Masyarakat harus tahu bahwa pemilu 2019 dilakukan serentak yakni memilih presiden-wakil presiden (pilpres), DPR, DPD, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota. “Jika masyarakat tidak tahu, maka nantinya saat berada di bilik suara, hanya menyoblos gambar capres saja. Padahal masih ada empat surat suara lainnya yang juga harus dicoblos,” kata Bangun. (sam/jpnn)
  • Bagikan

Exit mobile version