Ini Alasan Arhawi Harus Tinggalkan PAN

  • Bagikan
KOLAKAPOS, Kendari--Sejumlah kader di Partai Amanat Nasional (PAN) Sulawesi Utara nyatakan mundur. Selain sebagai reaksi dari dinonaktifnya LM Rajiun Sumada sebagai Ketua DPD PAN Muna Barat, ada juga yang memiliki alasan sendiri. Padahal sejatinya, Partai besutan Amien Rais itu tengah bersiap menyambut Pemilihan Gubernur Sulawesi Utara 2018. Yang terbaru, Ketua DPD PAN Kabupaten Wakatobi, Arhawi, misalnya. Ia menilai Partai berlambang mata hari terbit itu sudah tak lagi sebagai rumah yang nyaman. Ia menganggap, Pengelolaan partai yang buruk, terlebih sejak kepemimpinan Abdurrahman Saleh, menjadi alasan utamanya untuk keluar. “Kepemimpinan kepengurusan saat ini tidak lagi mengedepankan kekeluargaan. Tak ada lagi koordinasi dan komunikasi. Ketua DPW PAN tak mampu mengayomi seluruh kader pengurus di tingkat kabupaten atau kota,” ungkap Arhawi dilansir Inilahsultra.com, Minggu 25 Februari 2018. Ia mengatakan, keputusanya untuk keluar dari PAN bukan semata karena tidak sepakat dengan pencalonan Asrun-Hugua, namun lebih kepada rasa kenyamanan di dalam tubuh partai sendiri. “Ini bukan soal dukungan terhadap Pilgub. Ini semata-mata hanya kenyamanan di partai saja,” katanya. Di mata Arhawi, partai yang pernah membesarkannnya ini adalah partai reformis saat pertama kali dipimpin Nur Alam hingga ke Umar Samiun. Namun belakangan, partai ini berubah menjadi otoriter. Seakan-akan, kader pengurus di tingkat kabupaten atau kota tak ada gunanya. Salah satu contohnya adalah pada saat pergantian Umar Samiun dari Ketua DPW PAN Sultra ke Abdurrahman Saleh. Keputusan partai diambil di bandara, bukan duduk bersama seluruh kader. “Padahal partai ini kental dengan semangat kekeluargannya. Harusnya, pergantian pak Umar ini dimusyawarahkan bersama seluruh pengurus DPD, bukan diambil sendiri oleh DPW. Itu yang menjadi alasan saya yang pertama,” kata Arhawi merinci alasannya Mundur. Kedua, Arhawi mundur dari PAN karena pergantian Umar Samiun tidak menunggu putusan inkrah dari pengadilan. Harusnya, untuk menghormati jasa Umar, DPW menunda dulu keputusan pergantian itu. “Mulai di situ saya berpikir lain terhadap PAN. Pergantian Umar sebetulnya tidak etis. Padahal, kalau kita bertemu dengan teman adalah saudara semua. Pengambilan keputusan harusnya dalam konsep persaudaraan,” paparnya. Masalah ini, kata Arhawi, sudah lama ia pendam. Namun baru sekarang ia ungkapkan ke publik. Momen saat ini lah yang tepat ia utarakan kegalauannya selama ini di bawah naungan PAN. “Anak saya Aksar mau masuk politik, setelah ia menunjuk Golkar, saya mengamininya. Saya tidak mau dia masuk PAN karena saya nilai partai ini sudah tidak menjanjikan lagi,” ujarnya. Di era kepemimpinan Abdurrahman Saleh memperparah ketidaknyamanan Arhawi kepada PAN. Sebab, setiap keputusan partai diambil secara tergesah-gesah tanpa menunggu pertimbangan dari kader di bawah. Kepemimpinan Abdurrahman Saleh yang cenderung otoriter dan tidak mengedepankan komunikasi lintas kader di bawah. Salah satu contoh adalah kasus pemberhentian Ketua DPD PAN Muna Barat LM Rajiun Tumada. Jika sebagai Ketua DPW PAN Sultra, harusnya Abdurrahman Saleh memanggil atau segera melakukan koordinasi dengan kader di bawah terkait persoalan yang ada. “Jangan langsung main ancam dan pecat memecat. Ini partai reformis sejak masa reformasi, kenapa bisa berubah otoriter,” tekannya. Selama memimpin PAN, nilai Arhawi, Abdurrahman Saleh jarang melakukan rapat koordinasi dengan pengurus di bawah. Apalagi terkait dengan Pilgub Sultra 2018. “Menjelang pilgub, harusnya ketua partai wilayah intens mengundang ketua DPD di kabupaten untuk membahas secara bersama,” tuturnya. Berbeda dengan zaman Nur Alam, seluruh kader di tingkat kabupaten atau kota wajib didengar pendapatnya. Sebab, pendulang suara di basis akar rumput adalah Ketua DPD, apalagi memiliki jabatan strategis seperti bupati. “Itu ditanamkan oleh Nur Alam selama ini. Beliau dingin dalam memimpin. Bahkan, hampir tak ada gejolak dengan pengurus di bawah. Kita semua solid dan satu suara. Nur Alam selalu komunikatif dan kooperatif kepada kader,” tuturnya. Terkait dengan keputusannya meninggalkan PAN, Arhawi mengaku tak rugi. Ia menyebut dirinya membesarkan sendiri PAN di Wakatobi. “Saya bangun, biayai dan kelola sendiri kok,” katanya. Benar, kata Arhawi, kemenangan partai di pesta demokrasi adalah hal yang utama. Tapi tak kalah pentingnya, partai memberikan kenyamanan bagi pengurus. Sebab, ketidaknyamanan kader tak akan melahirkan kemenangan partai. “Senin besok saya akan masukkan surat pengunduran diri ke DPW. Suratnya juga ditembuskan ke DPP,” pungkasnya. (fajar)
  • Bagikan

Exit mobile version