Walikota Kendari Divonis “Satu Periode”

  • Bagikan
ILUSTRASI/net
KOLAKAPOS, Jakarta -- Sidang putusan Wali Kota Kendari nonaktif, Adriatma Dwi Putra dan mantan Wali Kota Kendari dua periode, Asrun digelar di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat, Rabu (31/10). Sidang tersebut selain dihadiri keluarga, juga dihadiri puluhan pendukung keduanya. Ayah dan anak itu menurut majelis hakim terbukti melakukan tindak pidana korupsi suap dari pengusaha Hasmun Hamzah selaku pemilik perusahaan PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) sebesar Rp6,8 miliar. Keduanya oleh hakim divonis "satu periode" atau selama 5 tahun 6 bulan penjara, ditambah denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan. Adriatma Dwi Putra dan Asrun tiba di Pengadilan Tipikor sekitar pukul 10.00 WIB. Mengenakan batik, keduanya baru masuk kedalam ruang sidang sekitar pukul 13.56 WIB. Ruang sidang nampak sesak dipenuhi keluarga dan simpatisan yang hadir langsung dari Kendari, Sulawesi Tenggara (Sultra). Isak tangis pun tak terbendung ketika ketua Majelis Hakim, Hariono membacakan vonis yang harus dijalani oleh Adriatma dan Asrun. “Mengadili, menyatakan terdakwa I Adriatma Dwi Putra dan terdakwa II Asrun telah terbukti secara sah dan meyakinkan secara hukum bersalah melakukan korupsi secara bersama-sama dan untuk terdakwa II Asrun melakukan korupsi secara bersama-sama dan berlanjut menjatuhkan hukuman pidana selama 5 tahun dan 6 bulan ditambah denda Rp250 juta subsider 3 bulan kurungan,” kata ketua majelis hakim Hariono dalam sidang pembacaan vonis di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta. Vonis itu lebih rendah dibanding tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK yang menuntut agar Adriatma dan Asrun divonis 8 tahun penjara ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan. Hakim juga mengabulkan permintaan JPU untuk mencabut hak politik Adriatma dan Asrun meski masih di bawah tuntutan JPU KPK yang meminta agar Adriatma dan Asrun dicabut hak politiknya selama 3 tahun penjara setelah menjalani hukuman. Hak politik yang dicabut hakim adalah hak untuk dipilih sebagai pejabat publik, baik sebagai bupati, wali kota ataupun gubernur. “Mencabut hak terdakwa I Adriatma dan terdakwa II Asrun dalam jabatan publik masing-masing selama 2 tahun dihitung sejak terdakwa selesai jalani pidana pokok,” tambah hakim Hariono. Vonis tersebut berdasarkan dakwaan pertama pasal 12 huruf b UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Pasal 64 ayat (1) KUHP. Dalam perkara ini Adriatma dan Asrun dinilai terbukti menerima suap sebesar Rp6,8 miliar yang diberikan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah sebesar Rp2,8 miliar meski yang ditemukan penyidik KPK hanya Rp2,798 miliar. Uang itu diterima Adriatma karena memenangkan perusahaan Hasmun dalam lelang pekerjaan pembangunan Jalan Bungkutoko-Kendara New Port tahun 2018-2020, serta mempermudah pelaksanaan pekerjaan proyek yang dilaksanakan PT Sarana Bangun Nusantara (SBN) yang dimiliki oleh Hasmun Hamzah. Pada Februari 2018, Adriatma mengundang pemilik PT SBN Hasmun Hamzah datang ke rumah jabatan wali kota dan meminta Hasmum membantu biaya kampanye Asrun sebesar Rp2,8 miliar, dan disanggupi untuk diserahkan pada 26 Februari 2018 karena Hasmun mendapat proyek tahun jamak pembangunan jalan Bungkutoko-Kendari New Port sebesar Rp60,168 miliar. Hasmun lalu memerintahkan “account officer” Bank Mega Kendari pada 19 Februari 2018 untuk menarik uang sebesar Rp1,5 miliar dalam pecahan Rp50 ribu yang baru dengan tujuan supaya lebih ringkas dan orang-orang yang akan menerima uang dalam acara kampanye Asrun senang. Hasmun kemudian meminta karyawannya di PT SBN Rini Erawati Sila untuk menarik uang kas sebesar Rp1,3 miliar sehingga total seluruhnya Rp2,8 miliar. Uang Rp1,5 miliar dari bank Mega lalu diambil oleh Rini Erawati dan Hidayat pada 26 Februari 2018 dan dibawa ke rumah sekaligus kantor Hasmun di Kendari. Selanjutnya uang digabung dengan uang yang berasal dari brankas PT SBN sebenar Rp1,3 miliar yang dibawa ke kamar orang tua Hasmun dan digabungkan dalam kardus sehingga totalnya Rp2,8 miliar. Beberapa hari kemudian uang itu diserahkan kepada penyidik KPK dalam kardus berwarna cokelat dengan tulisan ‘Paseo’ dan dihitung dengan mesin penghitung uang jumlah seluruhnya Rp2,798 miliar. Sedangkan pemberian suap tahap kedua adalah sebesar Rp4 miliar yang ditujukan agar Asrun memenangkan PT SBN dalam lelang pembangunan kantor DPRD Kendari tahun anggaran 2014-2017 dan pembangunan Tambat Labuh Zona III Taman Wisata Teluk Ujung Kendari Beach tahun anggaran 2014-2017. Fatmawaty menawarkan kepada Hasmun untuk mengerjakan 2 proyek tahun jamak 2014-2017 yaitu pembangunan gedung DPRD Kendari (Rp49,288 miliar) dan Tambat Labuh Zona III Kendari (Rp19,933 miliar). PT SBN pun ikut dan memenangkan kedua proyek itu. Pada Juni 2017, Farmawaty mendatangi rumah Hasmun dan meminta “commitment fee” sebesar 7 persen dari dua proyek tersebut. Pemberian uang dilakukan dua kali yaitu pada 15 Juni 2017 sebesar Rp2 miliar secara tunai, yang diserahkan kepada Fatmawaty Faqih di kamar Hotel Marcopolo dan pada 30 Agustus diserahkan langsung oleh Hasmun kepada Fatmawaty di rumahnya. Selain Asrun dan Adriatma, KPK juga menuntut Fatmawaty Faqih dengan pidana penjara selama 7 tahun ditambah denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan. Dihari yang sama pula, tepatnya usai sidang Adriatma dan Asrun, majelis hakim kemudian melanjutkan sidang putusan terhadap Fatmawati Faqih. Ia terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman 4 tahun 8 bulan serta denda 250 juta subsider 3 bulan kurungan. Sekedar diketahui, terkait perkara ini, pemilik PT SBN Hasmun Hamzah sudah divonis 2 tahun penjara ditambah denda Rp200 juta subsider 3 bulan kurungan. (HRM/FIN)
  • Bagikan

Exit mobile version