KOLAKAPOS, Denpasar -- Desakan agar Presiden Joko Widodo (Jokowi) membatalkan remisi untuk I Nyoman Susrama, napi kasus pembunuhan berencana wartawan Jawa Pos Radar Bali AA Gde Bagus Narendra Prabangsa, terus membesar. Selain aksi turun ke jalan, kini muncul rencana mengajukan gugatan jika Jokowi menolak membatalkan keputusan kontroversial itu.
“Kami sudah mendiskusikan rencana permohonan pembatalan pemberian remisi terhadap Susrama,” kata kuasa hukum Solidaritas Jurnalis Bali (SJB) I Made Suardana kepada Jawa Pos kemarin (24/1).
Suardana menyatakan, pihaknya hanya meminta presiden membatalkan remisi untuk Susrama. Dalam Keppres 29/2018, nama Susrama berada di urutan nomor 94 dari total 115 napi yang mendapat remisi perubahan pidana penjara seumur hidup menjadi pidana penjara sementara itu. “Kami akan mengirimkan surat secara resmi kepada Presiden Joko Widodo,” tegasnya.
Rencana gugatan itu bukan tanpa alasan. Sebab, pemberian ampunan untuk otak pembantai wartawan tersebut sama dengan mencederai kebebasan pers. Sepanjang sejarah pers, baru kasus pembunuhan Prabangsa yang bisa diproses hingga pengadilan. Sebaliknya, penanganan kekerasan terhadap jurnalis lain hingga kini tanpa kejelasan.
Lebih lanjut, Suardana meyakini, ada beberapa kelemahan dalam pemberian remisi untuk Susrama yang merupakan adik mantan Bupati Bangli I Nengah Arnawa tersebut. Salah satunya, diduga otoritas pemasyarakatan, termasuk Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly, tidak cermat menelaah perkara Susrama.
“Meski (dijerat pasal) 340 (KUHP), tetapi perbuatan pidananya itu mengandung unsur menghambat kebebasan pers,” terang kuasa hukum keluarga Prabangsa tersebut. Menurut Suardana, poin menghambat kebebasan pers semestinya menjadi catatan penting sebelum memberikan pengampunan.
Sembari menyiapkan materi gugatan, Suardana bersama Solidaritas Jurnalis Bali bakal terus menggelar aksi untuk menyuarakan penolakan terhadap pengampunan Susrama. Aksi yang sama rencananya digelar koalisi massa dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI), LBH Pers, YLBHI, dan FPMJ di seberang istana presiden di Jakarta. Aksi serupa akan digelar di Surabaya.
“Perang terhadap upaya pemberian keringanan (untuk Susrama) ini akan terus kami lakukan sampai presiden menjawab (permohonan pembatalan remisi untuk Susrama, Red) ini secara konkret,” tegas Suardana.
Di sisi lain, isu bahwa remisi untuk Susrama diperoleh berkat dorongan partai politik (parpol) sempat mencuat di kalangan jurnalis. Maklum, diduga ada kedekatan antara keluarga Susrama dan tokoh-tokoh PDI Perjuangan. Menanggapi hal itu, Ketua Bidang Hukum DPP PDI Perjuangan Trimedya Panjaitan mengatakan, pemberian remisi kepada Susrama tidak ada kaitannya dengan partai maupun dirinya.
“Saya memang mengetahui dia (Susrama) dapat remisi, tapi bukan kami yang mengajukan,” terang dia saat dihubungi Jawa Pos kemarin (24/1).
Menurut dia, sejak awal partainya tidak berhubungan dengan Susrama terkait kasus hukum yang dihadapi. Partai banteng juga tidak memberikan bantuan hukum kepada narapidana pembunuh wartawan tersebut. “Kalau ada bantuan hukum, sebagai ketua bidang hukum tentu saya mengetahuinya,” papar Wakil Ketua Komisi III DPR itu. Jadi, kata dia, tidak benar jika pihaknya dianggap terlibat dalam pengajuan remisi untuk Susrama. Dia tidak tahu-menahu tentang pengajuan keringanan hukuman tersebut.
Politikus asal Medan itu menegaskan, pemberian remisi adalah murni keputusan pemerintah, bukan keputusan partai maupun dirinya. Apalagi, lanjut dia, kasus yang dilakukan Susrama bukan perkara biasa. Namun, kasus berat terkait pembunuhan jurnalis. Sangat riskan jika partainya ikut campur dalam persoalan itu.
Di sisi lain, istana masih irit bicara dalam menanggapi rencana gugatan keppres yang dilakukan kuasa hukum Prabangsa. Johan Budi S.P., juru bicara presiden, mengatakan bahwa kasus tersebut ditangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) Yasonna Laoly. “Itu ditanyakan saja ke Menkum HAM,” ujarnya saat dihubungi.
Mantan pimpinan KPK tersebut menyatakan, istana -dalam hal pemberian remisi- sudah mendelegasikan kepada Yasonna. “Dia kan yang mewakili pemerintah.”(JPC/fajar)