Jokowi dan Prabowo Tak Benar-benar Dicintai

  • Bagikan
[caption id="attachment_81498" align="alignleft" width="187"] Oleh: Lazuardi Ansori[/caption]

Presiden terpilih Joko Widodo (Jokowi) bertemu dengan rival politiknya di Pilpres 2019, Prabowo Subianto. Kedua tokoh utama dalam konstalasi politik nasional ini bersua di Stasiun MRT, Lebak Bulus, Sabtu (13/7/2019). Pertemuan tersebut adalah yang pertama kali semenjak Pilpres 2019 berlangsung. Pertemuan itu disebut-sebut sebagai langkah positif bagi terwujudnya perdamaian di kalangan para pendukung mereka masing-masing. Polarisasi politik di level bawah semakin meruncing belakangan ini hingga pada tingkat yang cukup memprihatinkan. Jokowi berharap dari pertemuan tersebut rakyat kembali bersatu. “Tidak ada lagi yang namanya cebong. Tidak ada lagi yang namanya kampret. Yang ada adalah garuda. Garuda Pancasila,” kata Jokowi Stasiun MRT Senayan, Jakarta, Sabtu (13/7/2019). “Walaupun pertemuan ini seolah-olah tidak formal tetapi saya kira memiliki suatu dimensi dan arti yang sangat penting. Ada yang bertanya kenapa Pak Prabowo belum ucapkan selamat atas ditetapkannya Pak Jokowi sebagai presiden 2019-2024. Saya katakan saya ini bagaimana pun ada ewuh pekewuhada toto kromo. Jadi kalau ucapan selamat maunya langsung tatap muka,” ucap Prabowo di tempat yang sama.

Benarkah kedua kubu akan berdamai? Apakah pertemuan yang terkesan sejuk itu bisa menular kependukung-pendukung mereka masing-masing di tingkat akar rumput? Rasanya sulit. Ada banyak hal yang membuat perdamaian di tingkat bawah bisa terwujud. Pertama, gaya kampanye kedua kubu selama ini cenderung mengedepankan kampanye negatif. Akhirnya, tidak sedikit pemilih yang menjatuhkan pilihannya bukan lantaran cinta kepada sosok yang dia pilih. Mereka memilih Jokowi tidak lantaran cinta kepada mantan Gubernur DKI Jakarta itu, pilihannya itu didominasi karena ketidaksukaan terhadap Prabowo. Begitu juga sebaliknya, yang memilih Prabowo juga banyak yang karena tidak mengingini Jokowi memimpin kembali Indonesia. Alasan kebencian terhadap rival jauh lebih berpengaruh dibandingkan rasa cinta kepada sosok yang dipilihnya. Ini adalah resiko konkrit atas gaya kampanye negatif.

Hal ini juga resiko atas aturan presidential threshold yang sedemikan tinggi sehingga yang bisa mencalonkan diri hanya dua pasang saja. Andai kata calon yang berkompetisi di Pilpres lebih dari dua, maka faktor kebencian terhadap tokoh bisa tereduksi efeknya. Orang yang tak suka sosok A, bisa punya pilihan lebih banyak. Bisa akhirnya memilih C atau D.

Kembali lagi, bahwa kedua tokoh ini didukung bukan benar-benar karena mereka dicintai. Bahkan beberapa saat setelah pertemuan itu Persaudaraan Alumni (PA) 212 menyatakan tidak bersama Prabowo lagi. Padahal selama ini mereka identik dengan kelompok yang mendukung Ketua Umum Partai Gerindra tersebut. "PA 212 sudah kembali kepada khitoh semula, yaitu sudah tidak lagi bersama partai mana pun, juga Prabowo atau BPN (Badan Pemenangan Nasional)," kata juru bicara PA 212, Novel Bamukmin kepada wartawan, Sabtu (13/7/2019). Faktor kedua dari sulitnya terwujud kedamaian di kalangan bawah adalah soal gengsi. Rakyat di era media sosial punya beban ego dan gengsi atas pernyataan-pernyataan mereka yang selama ini mereka unggah di Facebook, Group WhatsApp, Twitter dan lain-lain. Rakyat biasa tidak punya kemampuan seperti elite politik yang pintar berkelit ketika berubah haluan. Politikus secara naluriah punya kemampuan menahan malu jika tidak konsisten dengan langkah-langkah politiknya, sementara rakyat biasa tak bisa semudah itu.

Kalau di media sosial selama ini sering ada perdebatan yang sengit, sesungguhnya bukan sekedar membela tokoh yang dipilihnya, melainkan juga sedang membela harga dirinya. Mereka akan mempertahankan diri supaya tidak terlihat sebagai seseorang yang salah pilih. Sehingga dengan segala kemampuan akan mencari pembenaran atas segala hal yang telah mereka ungkapkan.

Rakyat biasa akan terpenjara oleh pernyataan-pernyataan mereka di masa lalu. Mengubah sikap itu seperti tengah mempertaruhkan rasa malunya. Ada belenggu psikologis jika kemudian mau mengakui pihak yang selama ini mereka serang habis-habisnya.

Mereka yang dalam kelompok pemenang pun merangkul yang kalah pihak yang kalah dengan gestur membanggakan kemenangannya. Mereka yang ada di golongan yang kalah pun belumtentu punya kemampuan ikhlas melepas segala prasangka-prasangka yang selama ini tumbuh subur dalam hati dan pikirannya. Lebih lanjut, rekonsilasi atau apapun namanya itu, hanya pada kalangan elite politik. Segala macam pertikaian akibat polarisai politik di tingkat akar rumput punya peluang untuk dibiarkan. Tikai dan tengkar rakyat akan sangat potensial untuk menjadi asset yang bakal berguna bagi elite di kontestasi politik berikutnya. (***)

Penulis adalah pemilik website lazuardi.id

  • Bagikan