KOLAKAPOSNEWS.COM, Kolaka -- Mau tahu seberapa carut marutnya pengelolaan CSR Vale di Kolaka? Wakil Bupati Kolaka, Muhammad Jayadin mengaku tidak pernah tahu proses terbentuknya komite pengelola CSR Vale. Tidak hanya itu, 02 Kolaka itu juga tidak tahu siapa orang yang meng-SK-kan komite, siapa anggota komite, bahkan tidak pernah melihat SK pembentukan komite.
Tak heran, menurut pria yang mendampingi bupati Ahmad Safei selama dua periode ini, komite pengelola CSR Vale harus dibubarkan. "Kalau menurut saya pribadi, bubarkan saja itu Komite, bikin yang resmi yang di dalamnya ada pemerintah seperti Forum CSR. Ini Komite dikasih kewenangan ngatur-ngatur, dia yang tentukan item pekerjaan dan siapa yang kerja, padahal inikan uang besar. Kita di daerah ini kegiatan PL (penunjukan langsung) saja setengah mati diambil, ini tiba-tiba anggaran Rp2 miliar dan sekian kita tidak tahu proses lelangnya seperti apa. Kalau seperti ini, lebih baik bubarkan saja Komite ini, bikin yang resmi atau kembalikan pengelolaan CSR ke perusahaan itu sendiri," kata Jayadin ditemui di ruang kerjanya belum lama ini. "Tidak ada memang koordinasi. Munculnya Komite ini saya tidak tahu, tiba-tiba ada Komite, termasuk orang-orangnya (anggota Komite) juga ini ditahu dari mana. Ada yang mengatasnamakan masyarakat Baula, ternyata orang dari luar Kolaka," imbuhnya.
Ia menilai banyak kejanggalan terkait komite. Karenanya, ia tidak heran jika warga Kolaka berpikir CSR Vale hanya dinikmati segelintir oknum saja. Ia pun tak menampik ada pejabat yang menjadi dalang dibalik komite pengelola CSR. "Kan ini ada otaknya. Semua memang ada orangnya. Pengurus komunitas, pengurus komite juga. Ada semua kaitannya itu," ungkapnya.
Beberapa kejanggalan pengelolaan CSR PT.Vale kata Jayadin diantaranya, tidak mempertimbangkan skala prioritas. "Kalau tidak salah 70 sampai 80 persen itu lahannya (IUP) PT Vale ada di Kecamatan Baula, harusnya Baula itu menjadi prioritas untuk mendapatkan dana CSR itu. Bukan karena saya ada di Baula ya, tapi memang kenyataannya begitu. Tapi ini di Baula hanya dikasih pekerjaan Puskesmas, itupun saya sudah ngotot minta baru dikasih. Saya bilang waktu itu kalau tidak jadi, ya bisa jadi masalah ini karena ini untuk pelayanan masyarakat di situ," jelasnya.
Kemudian pelabelan tribun Watalara sebagai bangunan yang dikerja menggunakan dana CSR Vale. Padahal menurut Jayadin, tribun Watalara dikerjakan oleh TMMD tahun 2019. "Kan waktu datang kunjungan Panglima (Pangdam) waktu itu, itu dikerjakan selesai. Kok kenapa muncul sekarang tahun 2021 sebagai kegiatan CSR, (padahal) ini sudah selesai satu tahun lebih, kan aneh. Kalau dibilang dibiayai dulu, siapa yang biayai? Itukan pengerjaannya swakelola, Tentara yang kerja semua. TMMD juga kan ada anggarannya. Kenapa sekarang itu dibilang termasuk pekerjaan yang dibiayai CSR Vale. Terlalu banyak kejanggalan hanya kan kita tidak bisa komentar karena memang dari awal saya tidak tahu, mereka juga kan tidak pernah koordinasi dengan kita," bebernya.
Kejanggalan lainnya kata Jayadin, ternyata beberapa pejabat pernah berkonsultasi ke BPKP Sultra terkait pembentukan komite. Menjadi janggal, karena selain baru mengetahui kunjungan para pejabat itu melalui media Kolaka Pos, para pejabat juga mengabaikan rekomendasi BPKP. "Harusnya kita patuh terhadap itu (rekomendasi BPKP), karena kalau kita sudah konsultasi dan apa yang menjadi petunjuk dan arahan dari BPKP harusnya kita jalani supaya tidak menjadi masalah. Kalau begini (paksakan bentuk Komite) bisa jadi masalah, karena proses lelangnya kegiatan itu seperti apa, dan tim lelangnya orang yang paham kah dengan pengadaan (proyek), kita tidak tahu," terangnya.
Buntutnya, karena terkesan memaksakan terbentuknya komite, sekaligus menyembunyikan SK komite dari publik, banyak yang meragukan kapasitas komite. Padahal jelas Jayadin, untuk menjadi tim lelang pengadaan barang, dibutuhkan sertifikat khusus. Hal itu harusnya dimiliki oleh anggota komite. "Karena kita tidak tahu siapa-siapa yang mereka masukan (dalam tim Komite CSR). Untuk menjadi tim itu kan harus ada sertifikatnya, harus paham seperti apa proses pengadaan barang dan jasa,"
Jayadin juga menyoroti pengelolaan CSR Vale tahun 2016, 2017, 2018, 2019, diserahterimakan tahun 2020. Apalagi yang melakukan serah terima aset tersebut, bukan kepala BPKAD atau Sekda Kolaka selaku penanggung jawab aset. "Kita sudah tidak tahu yang mana ini barang yang diterima, tiba-tiba langsung bikin berita acara dan tanda tangan, terus dokumennya mana ini barang semua, karena ini mau dicatat sebagai aset, apa-apa disitu, adakah, tidakkah," herannya.
Daripada bermain dengan masalah, Jayadin menyarankan pengelolaan CSR Vale harusnya meniru PT.Antam yang mengelola sendiri dana CSR. Antam membentuk tim lelang profesional. "Jadi kegiatan-kegiatan PT.Antam itu dilelang semua, karena ada tim yang mengatur mekanisme dan prosesnya serta menentukan pemenangnya. Kita pihak pemerintah hanya kasih masuk saja (program). Ini kan (Pengelolaan CSR Vale oleh Komite) kita tidak tahu seperti apa mekanismenya, baru uang besar yang mereka kelola," ketusnya.
Jika tidak segera dibenahi, Jayadin melihat carut marut pengelolaan CSR Vale di Kolaka, akan menjadi bom waktu yang dapat meledak kapan saja. "Kita ini maunya transparansi, kita mau lihat SK Komite siapa yang SK kan, kemudian di Komite itu adakah dibentuk tim pengadaannya, kemudian siapa siapa orangnya," terangnya.
Iapun mengaku paham permainan apa yang sedang dimainkan para pejabat. Ia menduga beberapa pejabat sengaja menyembunyikan SK komite, sambil menunggu masa tugas komite berakhir. Sesuai pernyataan asistan II Pemkab Kolaka Mustajab, tugas komite akan berakhir sampai Juni 2021. "Kan dana untuk satu tahun sudah habis, sudah dibagi semua. Wajar kalau mereka cepat-cepat berhenti, karena semua juga kan mereka sudah proses, sudah terbagi semua kegiatan, apa lagi yang mereka tunggu? Tinggal tunggu saja hasilnya kalau perkerjaan selesai ya dibayar. Ya tidak usahlah kita sembunyi-sembunyi," tandasnya. (kal)