Legalisasi Ganja di Indonesia: Manfaat Atau Mudharat?

  • Bagikan
Oleh: Farah Fauziyah Radhiyatulqalbi Ahmad, S.Ked., M.Biomed Baru-baru ini seorang ibu bernama Santi Warastuti menarik perhatian publik dengan melakukan kampanye pada kegiatan Car Free Day (CFD), di Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta, Minggu (26/6). Hal ini dilakukan Santi demi keberlangsungan pengobatan anaknya, Pika, yang mengidap cerebral palsy, sebuah penyakit yang disebabkan oleh kelainan perkembangan saraf dan menyebabkan gangguan pada otot, gerak, dan koordinasi tubuh yang terjadi usia anak dan bertahan seumur hidup. Menurut Santi, Pika sering mengalami kejang- kejang karena penyakitnya. Dikutip dari Jawa Pos, Santi mengaku belum pernah memberikan ganja medis kepada anaknya yang kerap kali mengalami kejang-kejang. Ia juga menyadari bahwa hal ini membutuhkan pengawasan khusus dari tenaga medis agar ganja bisa digunakan untuk keperluan medis. "Saya belum tahu pasti untuk prosedurnya ya, karena saya belum pernah memakai, makanya saya memohon kepada pemerintah untuk dibuatkan regulasi supaya nanti pemakainyapun terawasi," pungkas Santi. Isu tentang legalisasi ganja menjadi menarik akhir-akhir ini, diawali oleh pemerintah Thailand yang baru saja menghapus ganja dari daftar narkotika di negaranya pada Kamis (9/6), bahkan pemerintah membagikan 1 juta pohon ganja kepada masyarakat dalam kampanye program tersebut. Hal ini dilakukan karena ganja dinilai menguntungkan negara jika dimanfaatkan untuk industri kesehatan dan pariwisata. Dengan dilegalkannya ganja, warga dibolehkan menanam dan menjualnya secara komersil sama seperti bawang putih dan tumbuhan lain. Berdasarkan aturan internasional, Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB) memang telah mencabut ganja dan turunannya dari daftar narkoba pada awal Desember 2020 lalu. Hal ini dilakukan setelah mempertimbangkan usul dari WHO. Ganja dibolehkan terutama untuk tujuan pengobatan. Beberapa negarapun telah melegalkan penggunaan tenaman ini. seperti Uruguay, Kanada, Inggris, Peru, Amerika Serikat, Siprus, Israel, Jerman, Italia, Chile, Belgia, Spanyol, Meksiko, Ekuador, Belanda, dan baru-baru ini Thailand. Thailand menjadi satu- satunya negara di Asia Tenggara yang melegalkan ganja dan menghapusnya dari daftar jenis narkoba. Meskipun di beberapa negara ganja telah dilegalkan, penggunaannya tetap diatur dan dikontrol oleh undang-undang. Di Indonesia sendiri, penggunaan ganja masih terhalang oleh aturan Undang-undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika yang memasukkan ganja ke dalam narkotika golongan I. Narkotika golongan I adalah narkotika yang dilarang digunakan untuk kepentingan kesehatan namun hanya boleh digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Meskipun Badan Narkotika Negara (BNN) dan Polri telah menegaskan bahwa tidak ada isu legalisasi ganja di Indonesia, namun beberapa pihak sepertinya mulai tergerak untuk melakukan pendalaman terkait dilegalkannya tanaman ini. Bahkan Menteri Kesehatan Budi Gunadi menyatakan akan melakukan kajian terkait hal tersebut. "Jadi tahapan ini untuk riset dulu, nanti habis riset kita tahu bisa digunakan untuk medis," kata Budi Gunadi, dikutip dari Jawa Pos, 29 Juni 2022. Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun siap melakukan kajian untuk penerbitan fatwa penggunaan ganja untuk kepentingan medis jika telah ada permintaan resmi dari pemerintah atau DPR. Penggunaan ganja untuk keperluan medis memang perlu dilakukan, apalagi Indonesia memiliki letak geografis yang mendukung tumbuh suburnya tanaman ini seperti di Provinsi Aceh. Apalagi baru-baru ini berdasarkan berita yang dimuat di Radar Mojokerto, ditemukan 10 hektare ladang ganja siap panen yang tersebar di sejumlah titik di lereng Gunung Karuhun, Desa Cimenteng, Kecamatan Campaka, Cianjur, Jawa Barat (28/6). Jika tanaman ini memang memiliki fungsi medis maka tidak ada salahnya penggunaannya dibolehkan untuk kepentingan pengobatan. Namun, perlu bagi kita untuk tahu apakah benar ganja medisitu aman? Jangan sampai kita menjadi latah dan ikut-ikutan saja. Apa itu Ganja? Ganja merupakan tanaman dengan nama latin Cannabis, dan berasal dari famili Cannabaceae. Tumbuhan ini mencakup tiga spesies yaitu Cannabis Sativa, Cannabis Ruderalis, Cannabis Indica. dan dapat tumbuh di daerah pegunungan dengan ketinggian di atas seribu meter di atas permukaan laut. Tanaman ganja memiliki banyak kandungan senyawa, namun tetrahydrocannabiol (THC) merupakan bahan psikoaktif utama. Selain itu terdapat senyawa lain yaitu cannabidiol (CBD). Menariknya tanaman ini untuk dijadikan bahan obat adalah karena kandungan CBD yang mampu mengatasi berbagai gejala neurologis seperti menekan rasa nyeri, dapat mengatasi gejala kejang serta kelainan genetika langka. Meskipun begitu banyak hal yang masih belum diketahui tentang manfaat ganja medis, apakah memiliki dampak terapi yang efektif atau dapat menimbulkan efek samping terhadap kondisi kesehatan seseorang. Selain itu senyawa THC dalam tanaman ini digunakan untuk mengobati mual pada pasien kanker yang menjalani kemoterapi. Ahli AIDS juga menjelaskan bahwa THC digunakan untuk meningkatkan nafsu makan pada pasien HIV/AIDS. Pengembangan pemanfaatan tanaman ini terus dilakukan oleh peniliti diberbagai negara. Namun, karena sifat psikoadiktifnya, maka penggunaan ganja akan menimbulkan ketergantungan dan membuat penggunanya mengalami penurunan atau perubahan kesadaran. Kandungan senyawa THC dalam ganja bekerja dengan cepat di dalam tubuh, THC yang terkandung dari asap hasil pembakaran ganja, jika dihirup akan masuk kedalam paru-paru dan masuk ke peredaran darah dan memengaruhi kinerja otak dan organ tubuh lainnya, efek tersebut akan dirasakan 30 menit sampai 1 jam setelah penggunaan. Tentu saja penggunaan secara berlebihan dan terus menerus akan menyebabkan efek jangka panjang. Dikutip dari BNN, Menurut penelitian yang dilakukan oleh National Institute of Drugs Abuse, THC dapat mengganggu kinerja sebagian besar area di dalam otak yang mengatur persepsi, sensasi, koordinasi, penglihatan, memori, keseimbangan, dan juga kemampuan dalam pengambilan keputusan. Kondisi inilah yang sering disebut dengan istilah "ngefly" atau "high". Dalam kondisi ini, seorang pengguna ganja akan mengalami perubahan sensasi misalnya melihat sesuatu yang berwarna tampak lebih terang warnanya, perubahan orientasi waktu, suasana hati, pergerakan tubuh yang tidak selaras, gangguan ingatan, kesulitan berpikir maupun memecahkan masalah. Jika ganja digunakan dengan dosis yang tinggi dapat menyebabkan halusinasi dan delusi. Bahkan yang lebih parahnya dapat memunculkan gejala psikosis (gangguan jiwa) jika terlalu sering digunakan dengan dosis yang berlebih. Berdasarkan laporan dari Badan PBB Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), terjadi peningkatan konsumsi ganja pada tahun 2020 imbas dari legalisasi diberbagai negara dan efek dari pandemic Covid-19. Dikatakan sekitar 284 juta orang, atau 5,6 persen dari penduduk dunia, telah menggunakan narkoba, seperti heroin, kokaina, amfetamin atau ekstasi pada 2020, data terakhir yang tersedia. Dari 284 juta orang itu, 209 juta di antaranya mengonsumsi ganja. UNODC mengungkapkan kandungan THC dalam ganja juga semakin meningkat. Fakta bahwa tanaman ganja dapat dimanfaatkan dalam dunia kedokteran memang telah lama diakui. Namun, kita tidak bisa mengabaikan begitu saja efek samping dari senyawa yang terkandung dalam tanaman ganja ini. Sampai saat inipun belum ada penyakit yang terapi utamanya adalah ganja, apalagi efek samping yang ditimbulkan dari penyalahgunaan ganja cukup serius, hehingga diperlukan aturan yang jelas, penegakan hukum yang kuat, penguatan regulasi dan kontrol jika ingin melegalkan ganja di Indonesia. Jangan sampai kebijakan legalisasi ganja menimbulkan lebih banyak mudarat dibandingkan manfaat. (**) * Penulis adalah peserta LATSAR CPNS Angkatan XXV Puslatbang KDOD * Dosen Fakultas Kedokteran, Universitas Palangka Raya
  • Bagikan