oleh:
Prof. Iskandar, SP., M.Si., Ph
Peneliti Bidang Pemberdayaan Masyarakat, CSR dan ESIA / Kepala Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Kebumian, Sumberdaya Energi Universitas Halu Oleo (PPLH-KSE UHO)
Debat publik. Salah satu tahapan dalam pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada). Di Pilpres juga ada. Momentum menguji kecakapan para kandidat menyelesaikan beragam persoalan melalui visi, misi, dan program para calon. Kerangka persoalan telah dipersiapkan para panelis yang kompeten di bidangnya masing-masing.
Debat publik pada pemilihan gubernur (Pilgub) Sulawesi Tenggara dilaksanakan tiga kali. Debat pertama berlangsung di Kota Baubau, tanggal 19 Oktober 2024. Debat kedua diselenggarakan di Kabupaten Kolaka, 1 Nopember 2024. Debat terakhir akan diselenggarakan di Kota Kendari pada tanggal 23 Nopember 2024. Debat publik atau debat terbuka ini menjadi kesempatan emas bagi masyarakat untuk lebih mengenal program-program para calon. Perang gagasan para kandidat diluapkan dengan strategi ampuh untuk "membius" pikiran pemilih dalam meraup suara yang banyak.
Pasangan calon (Paslon) mengupas tuntas berbagai isu penting dalam debat publik. Mulai dari tema peningkatan kesejahteraan masyarakat, pemajuan daerah, peningkatan pelayanan publik, penyelesaian persoalan daerah, hingga sinkronisasi pembangunan daerah dengan pembangunan nasional. Masyarakat diharapkan dapat menyimak dengan cermat dan memilih pemimpin yang benar-benar memiliki komitmen untuk memajukan Sulawesi Tenggara.
Para paslon berlomba tebar pesona lewat janji politik. Janji perbaikan infrastruktur, penciptaan lapangan kerja, hingga program kesehatan gratis diumbar. Sederet janji disampaikan untuk meraih simpati pemilih. Di masa kampanye, aspirasi kesejahteraan masyarakat kerap menjadi sorotan utama, seolah menjanjikan perubahan besar. Namun, pengalaman pilkada sebelumnya di berbagai daerah menunjukkan bahwa janji-janji ini tak selalu terealisasi. Pertanyaannya, apakah janji-janji ini hanya sekadar ilusi untuk meraih suara atau benar-benar akan diwujudkan demi kesejahteraan rakyat?
Contoh, salah satu janji paslon. Siap membangun rumah sakit pada setiap kecamatan. Katanya untuk memudahkan akses layanan kesehatan bagi masyarakat. Janji optimalisasi pelayanan kesehatan hampir setiap momentum Pilkada selalu hadir "merayu" pendengaran pemilih. Faktanya, problematika masyarakat yang selalu mengeluhkan sulitnya akses mendapatkan fasilitas kesehatan yang memadai tak pernah selesai. Jangankan di wilayah pelosok, bahkan mereka pun yang bermukim di perkotaan seringkali mengeluhkan fasilitas kesehatan yang tak memadai.
Terkadang, janji paslon saat terpilih memang audaj disampaikan pada instansi terkait. Namun, implementasinya tak seindah janji politik yang terucap saat debat publik dan kampanye. Untuk mengefektifkan realisasi janji politik tersebut, tentu membutuhkan perencanaan matang, anggaran yang cukup, dan komitmen nyata. Seringkali, janji hanya menjadi janji kosong tanpa adanya evaluasi yang jelas dan akuntabilitas setelah pemilihan usai.
Selain janji pembangunan fisik, janji kesejahteraan ekonomi juga menjadi isu menarik dalam setiap kampanye Pilkada. Di beberapa daerah, paslon berjanji akan mengurangi tingkat pengangguran dan mengentaskan kemiskinan. Sayangnya, tidak jarang janji ini tidak dibarengi dengan rencana konkret dan berkelanjutan yang mempertimbangkan potensi daerah dan kebutuhan pasar kerja. Akibatnya, masyarakat yang berharap akan adanya perubahan ekonomi justru kecewa karena janji tersebut hanya menjadi ilusi, tanpa hasil nyata yang terlihat dalam kehidupan sehari-hari.
Kini, masyarakat dihadapkan pada pilihan sulit saat Pilkada. Dimana janji-janji kesejahteraan kembali bermunculan. Agar tidak terjebak dalam siklus yang sama, diperlukan kedewasaan dan kepekaan politik dari masyarakat untuk tidak sekadar memilih berdasarkan janji manis yang sulit terealisasi. Lebih jauh lagi, masyarakat perlu mengawasi dan menuntut realisasi janji-janji tersebut pasca Pilkada agar kesejahteraan rakyat bukan lagi sekadar janji kosong, tetapi sebuah harapan nyata yang bisa dirasakan di kehidupan sehari-hari.
Untuk menunjukkan komitmen yang nyata, pasangan calon (paslon) perlu merancang program yang realistis dan berbasis pada kebutuhan masyarakat setempat. Alih-alih hanya berfokus pada janji-janji besar yang sulit dicapai, paslon sebaiknya merumuskan langkah-langkah yang jelas, terukur, dan bisa diawasi oleh publik. Misalnya, jika berjanji meningkatkan kesejahteraan ekonomi, paslon harus menjelaskan bagaimana rencana konkret tersebut akan dilakukan. Mulai dari skema pendanaan, pelibatan masyarakat lokal dalam proyek, hingga target capaian dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Dengan demikian, janji-janji ini dapat diukur. Masyarakat bisa melihat perkembangan nyata dari komitmen paslon dalam menciptakan perubahan positif.
Selain itu, paslon perlu memperkuat transparansi dan akuntabilitas dalam setiap kebijakan yang diambil. Langkah ini dapat diwujudkan dengan membentuk tim independen atau lembaga pengawasan yang bertugas mengawasi implementasi program serta melibatkan masyarakat dalam proses evaluasi. Paslon juga bisa membangun forum dialog berkala, di mana masyarakat dapat memberikan masukan dan menilai capaian dari program yang telah berjalan. Dengan menjaga keterbukaan dan mengutamakan partisipasi publik, paslon menunjukkan keseriusan dalam menjaga komitmen mereka terhadap janji kesejahteraan. Hal ini tidak hanya meningkatkan kepercayaan masyarakat, tetapi juga membuktikan bahwa janji politik dapat diwujudkan melalui tindakan nyata yang berdampak langsung pada kehidupan mereka. (iskandar.faperta@uho.ac.id.)