Saatnya Petani dan Nelayan Menjadi Pelaku Industri: Perwujudan Konsep Hilirisasi di Sultra

  • Bagikan

Konsep hilirisasi sudah lama digaungkan. Namun, seolah hilirisasi hanya menjadi alat politik yang hanya sekadar membawa rakyat kecil terbuai di alam mimpi tanpa kenyataan. Petani dan nelayan masih menjadi "budak" para tengkulak, pihak ketiga (pedagang) dan dunia industri yang meraup untung berlipat ganda dari cucuran keringat masyarakat kecil. Sudah saatnya petani dan nelayan menjadi pelaku industri agar konsep hilirisasi menjadi nyata di masyarakat kecil.

Pasangan Gubernur Sulawesi Tenggara yang baru, Andi Sumangerukka (ASR) -- Hugua saat ini hadir di tengah ekspektasi besar masyarakat akan perubahan yang nyata. Salah satu komitmen utama mereka yang paling menyita perhatian adalah program hilirisasi sektor pertanian, perikanan, dan perkebuna. Sebuah visi pembangunan yang diyakini dapat menjadi jalan strategis menuju kesejahteraan masyarakat Sultra. Program ini tak hanya menjanjikan peningkatan ekonomi, tetapi juga membuka ruang partisipasi yang lebih besar bagi petani dan nelayan untuk naik kelas sebagai pelaku industri lokal. Bukan lagi sekadar menjadi produsen bahan mentah.

Komitmen ini menjadi sangat penting karena lebih dari 60 persen masyarakat Sultra hidup dari sektor-sektor primer yang selama ini kurang mendapatkan akses terhadap teknologi pengolahan, pasar yang adil, maupun dukungan kebijakan yang berpihak. Hilirisasi sejatinya bukan sekadar jargon pembangunan, melainkan upaya konkret untuk mendorong transformasi struktural: dari ketergantungan pada penjualan bahan mentah ke penguatan industri pengolahan di tingkat desa. Maka tak heran jika masyarakat kini tak lagi puas dengan retorika politik; mereka menanti kehadiran pemerintah dalam bentuk program nyata, pelatihan langsung, fasilitas pengolahan, dan pendampingan berkelanjutan. Karena bagi rakyat, kesejahteraan bukan lagi wacana, namunharus hadir dan bisa dirasakan kehadirannya di dapur dan dompet mereka.

Jangan Biarkan Mereka Hanya Jadi Penonton

Fakta di lapangan berbicara tanpa basa-basi: petani dan nelayan kita masih berada di titik paling rentan dari rantai ekonomi. Mereka bekerja dari pagi hingga senj. Menanam padi, memetik kakao, memanen rumput laut, hingga melaut berhari-hari. Namun hasil jerih payah mereka hanya dijual dalam bentuk mentah dengan harga yang ditentukan oleh tengkulak atau pedagang besar. Mereka tidak memiliki akses terhadap mesin pengolahan pasca-panen. Tidak familiar dengan standar mutu dan sertifikasi produk. Serta tidak menguasai strategi pemasaran yang mampu membuka pasar yang lebih luas dan adil.

Sementara itu, di ujung rantai pasok yang lain, pihak-pihak yang memiliki modal, teknologi, dan koneksi pasar justru menuai keuntungan terbesar. Mereka mengemas hasil panen petani menjadi produk bernilai jual tinggi: kopi kemasan, abon ikan, cokelat batangan, hingga keripik pisang berlabel ekspor. Ironisnya, para petani dan nelayan yang menjadi sumber bahan baku justru tidak mendapatkan bagian dari nilai tambah tersebut. Ketimpangan ini menciptakan jurang kesejahteraan yang terus melebar antara desa dan kota. Jika tidak segera ada intervensi kebijakan dan pendampingan serius dari pemerintah, petani dan nelayan Sultra akan terus menjadi penonton dari panggung ekonomi yang dibangun dari kerja keras mereka sendiri. Tersisih di tanah dan laut yang mereka rawat turun-temurun.

Hilirisasi Harus Turun ke Desa

Janji hilirisasi hanya akan menjadi narasi elitis belaka jika tidak menyentuh langsung kebutuhan nyata masyarakat desa. Untuk menjadikannya hidup dan relevan, pendekatan yang dibutuhkan bukan dari menara gading, melainkan dari tanah tempat petani menanam dan nelayan berlabuh. Pemerintah perlu memulai dari langkah-langkah sederhana yang membawa dampak besar: membangun sentra pengolahan skala desa, menghadirkan rumah produksi terpadu, serta menghidupkan kembali koperasi produsen yang selama ini mati suri. Inilah ekosistem awal bagi desa untuk menciptakan nilai tambah atas produk mereka sendiri. Mesin pengering jagung, alat press kemasan vakum, hingga unit pengasapan dan fermentasi ikan atau rumput laut harus menjadi bagian dari infrastruktur ekonomi desa—bukan hanya hadir saat pameran, tapi benar-benar digunakan dan dirawat oleh warga setempat.

Lebih dari itu, hilirisasi akan gagal jika tidak disertai investasi besar pada sumber daya manusianya. Diperlukan pendidikan vokasi dan pelatihan teknis yang mudah diakses, berbasis kebutuhan lokal, dan diselenggarakan secara berkelanjutan. Balai latihan kerja (BLK) desa atau kecamatan harus menjadi pusat peningkatan keterampilan warga, mulai dari pengolahan hasil, pemasaran digital, hingga akuntansi mikro berbasis koperasi. Pendampingan bukan hanya sekadar workshop seharian, tetapi proses belajar-mengajar yang humanis dan membumi. Pemerintah harus menggeser paradigma: dari proyek instan ke pembangunan kapasitas. Karena sesungguhnya, hilirisasi bukan sekadar urusan alat dan bangunan, tetapi tentang menanamkan kemandirian ekonomi, agar petani dan nelayan mampu berdiri di atas kaki sendiri—sebagai produsen, pengolah, sekaligus pelaku pasar.

Solusi Lintas Sektor, Bukan Sektoral

Program hilirisasi tidak bisa bekerja sendiri. Harus ada integrasi dengan sektor pendidikan (melalui sekolah kejuruan dan politeknik berbasis pertanian-perikanan), sektor koperasi dan UMKM, CSR perusahaan tambang, hingga layanan digital desa. Di sinilah kolaborasi antar-OPD, perguruan tinggi, dan pelaku usaha menjadi mutlak.
Digitalisasi desa, misalnya, bukan hanya soal Wi-Fi gratis. Tapi bagaimana ibu-ibu nelayan bisa belajar membuat label produk dan menjual lewat marketplace. Bagaimana pemuda tani bisa belajar ekspor melalui pelatihan daring. Semua ini akan jadi pembuktian bahwa pemerintah tak hanya hadir, tapi benar-benar bekerja untuk rakyat.

Menagih Janji, Menyumbang Solusi

Masyarakat Sultra kini menatap masa depan dengan penuh harapan, sekaligus rasa waspada. Mereka tidak sekadar ingin mendengar pidato visi-misi atau melihat spanduk program, tapi ingin merasakan sendiri perubahan yang dijanjikan di kehidupan sehari-hari. Petani dan nelayan tak ingin terus berada di lingkaran kemiskinan struktural. Mereka ingin naik kelas menjadi pelaku industri lokal yang berdaulat atas hasil kerjanya. Sudah saatnya mereka tidak hanya memproduksi bahan mentah, tetapi juga mampu mengolah, mengemas, dan menjual produknya dengan harga yang adil dan berdaya saing. Sudah saatnya mereka tidak hanya dikenal karena kerja kerasnya, tetapi juga dihargai karena penghasilannya yang layak dan berkelanjutan.

Tulisan ini bukan sekadar rangkaian kritik. Ini adalah sumbangan pikiran dari rakyat untuk pemerintah yang baru. Suara dari bawah yang menginginkan perubahan datang dari atas, bukan sekadar wacana, tetapi kebijakan dan aksi nyata. Kepemimpinan ASR-Hugua kini memegang mandat untuk membuktikan bahwa janji hilirisasi bukan hanya slogan kampanye, melainkan jalan panjang menuju kemandirian dan kesejahteraan daerah. Jangan biarkan peluang ini berlalu begitu saja. Karena sejatinya, kesejahteraan rakyat tidak akan lahir dari panggung seremoni atau pameran sesaat, tetapi dari hasil panen yang diolah sendiri, dijual sendiri, dan menghidupi keluarga sendiri. Inilah saatnya Sultra menorehkan babak baru pembangunan bersama, dari desa, dan untuk rakyat. (iskandar.faperta@uho.ac.id.)

  • Bagikan

Exit mobile version