Oleh: Prof. Iskandar, Ph.D
Di tengah tantangan perubahan iklim, krisis pangan global, dan makin sempitnya lahan pertanian, peran pemuda tani kini menjadi semakin penting. Namun, ironisnya, banyak anak muda Indonesia enggan terjun ke dunia pertanian karena dianggap tidak menjanjikan. Di sisi lain, sektor pertanian adalah fondasi ketahanan pangan bangsa. Jika tak ada regenerasi petani, siapa lagi yang akan menjaga sawah, ladang, dan pangan kita? Inilah saatnya kita menata ulang cara kita mendidik dan memberdayakan pemuda tani. Tidak hanya sebagai pekerja lapangan, tetapi sebagai inovator desa yang cerdas dan berdaya saing.
Fenomena serupa terjadi di Sulawesi Tenggara. Banyak desa di Sulawesi Tenggara kini menghadapi kenyataan pahit. Lahan-lahan pertanian mulai terbengkalai, ditinggalkan oleh generasi mudanya yang lebih memilih bekerja di sektor pertambangan atau merantau ke kota. Fenomena ini sangat nyata di wilayah seperti Konawe, Kolaka, Bombana, hingga Buton, di mana sawah dan kebun dibiarkan kosong karena tenaga produktifnya beralih profesi. Tambang memang menjanjikan penghasilan cepat, tapi pertanianlah yang menyuplai pangan. Sayangnya, pekerjaan bertani masih dianggap "kelas dua", tak menarik, dan tak menjanjikan masa depan. Dalam jangka panjang, situasi ini bukan hanya mengancam regenerasi petani, tapi juga bisa menggoyang fondasi ketahanan pangan daerah, bahkan ketahanan nasional.
Namun demikian, pemuda desa sejatinya bukan anti-pertanian. Mereka hanya belum melihat pertanian sebagai peluang yang menarik dan modern. Banyak dari mereka punya semangat, daya pikir terbuka, dan keterampilan digital yang bisa dioptimalkan jika diberi ruang, pelatihan, dan dukungan yang tepat. Jika mereka diperkenalkan pada inovasi seperti smart farming, pertanian organik bernilai tinggi, atau pemasaran digital hasil tani, maka bertani bisa menjadi profesi masa depan yang membanggakan. Oleh karena itu, tugas kita bersama adalah mengubah narasi pertanian dari sekadar pekerjaan tradisional menjadi lahan kreativitas dan inovasi. Ini sejalan dengan misi Gubernur Sulawesi Tenggara yang menekankan pentingnya pembangunan ekonomi berbasis potensi lokal, pemberdayaan sumber daya manusia, dan penguatan sektor pertanian, perikanan, serta UMKM berbasis inovasi dan teknologi. Sultra memiliki peluang besar untuk menjadi pelopor transformasi ini, karena wilayah ini kaya sumber daya alam dan memiliki basis komunitas pertanian yang kuat.
Untuk mewujudkan visi besar tersebut, pemuda tani perlu ditempatkan di pusat agenda pembangunan daerah. Dengan memberikan akses pelatihan inovatif, membuka ruang kolaborasi antar generasi, serta mendukung pengembangan usaha tani berbasis teknologi, pemerintah provinsi bisa memastikan bahwa regenerasi petani berjalan, dan pertanian menjadi sektor modern yang membanggakan. Jika langkah ini diambil serius, maka Sulawesi Tenggara tidak hanya kuat sebagai lumbung pangan, tapi juga sebagai pusat inovasi pertanian di kawasan timur Indonesia.
Berbagai penelitian dan laporan menunjukkan bahwa jika petani muda diberi akses pada teknologi digital, pelatihan inovatif, dan pendampingan usaha, hasilnya luar biasa. Laporan FAO (2021) menyebutkan bahwa pemuda yang terlibat dalam program pertanian berbasis teknologi memiliki peluang meningkatkan produktivitas hingga 30% dibanding metode konvensional. Di Indonesia sendiri, studi dari IPB (2022) menunjukkan bahwa petani milenial yang memanfaatkan platform digital dan sistem irigasi otomatis lebih mampu bertahan menghadapi cuaca ekstrem dan harga pasar yang fluktuatif.
Lalu, apa yang harus kita lakukan?
Pertama, pemerintah perlu mendesain ulang program penyuluhan dan bantuan pertanian agar lebih menarik bagi anak muda. Jangan hanya berikan alat dan bibit, tapi juga berikan pelatihan teknologi, akses pasar digital, dan model usaha pertanian yang berbasis inovasi. Program gubernur ke depan harus mampu mengubah cara pandang terhadap sektor pertanian, dari yang dulu hanya dianggap subsisten menjadi sektor unggulan berbasis inovasi dan teknologi.
Kedua, pendidikan pertanian di sekolah dan perguruan tinggi harus bergeser dari pola konvensional ke pendekatan transformatif yang berbasis praktik dan inovasi. Tak cukup hanya menyampaikan teori dan konsep di dalam kelas—para siswa perlu diajak langsung terjun ke lapangan, merancang solusi nyata, dan mengembangkan proyek-proyek berbasis teknologi seperti smart farming, pertanian presisi, atau sistem hidroponik murah. Model belajar semacam ini tidak hanya melatih keterampilan teknis, tetapi juga membangun rasa kepemilikan, tanggung jawab sosial, serta kepekaan terhadap kebutuhan lokal. Pendidikan pertanian harus menjadi pengalaman hidup, bukan sekadar hafalan kurikulum.
Yang tak kalah penting adalah kolaborasi antar-generasi. Petani senior yang telah lama berkecimpung di sawah dan ladang memiliki kearifan lokal dan pengalaman yang sangat berharga. Mereka harus dilibatkan sebagai mentor dan mitra belajar bagi generasi muda. Di sisi lain, pemuda membawa semangat baru, melek teknologi, dan cepat beradaptasi dengan perubahan zaman. Pertemuan dua kekuatan ini, pengalaman dan inovasi adalah kunci memperkuat regenerasi petani yang tak hanya mampu bertani, tapi juga berwirausaha, membangun merek sendiri, dan memanfaatkan pasar digital.
Di sinilah kebijakan daerah harus hadir lebih konkret dan strategis. Pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota perlu mengintegrasikan program pendidikan vokasi, pelatihan petani muda, dan inovasi desa ke dalam satu sistem yang saling terhubung. Misalnya, mendirikan pusat inovasi pertanian desa di setiap kecamatan yang menjadi tempat belajar, berinovasi, dan mengembangkan produk. Program seperti magang tani, kompetisi inovasi pertanian, hingga akses permodalan dan pasar harus menjadi bagian dari peta jalan pemberdayaan pemuda tani. Ketika pendidikan, kebijakan, dan komunitas saling bersinergi, maka lahirlah Creating Innovators yang benar-benar tumbuh dari desa tangguh, cerdas, dan membawa harapan baru bagi masa depan pertanian Indonesia.
Terakhir, masyarakat dan orang tua juga punya peran besar. Jangan anggap bertani itu pekerjaan rendah. Mulailah menumbuhkan kebanggaan akan identitas sebagai petani. Karena sejatinya, tanpa petani, tak akan ada nasi di piring kita. Jika visi kepemimpinan daerah menempatkan petani muda sebagai pilar pembangunan desa, maka lahirlah generasi baru yang tidak hanya kuat mencangkul, tapi juga cerdas mengolah data, memasarkan hasil, dan menata masa depan. Inilah wujud nyata Creating Innovators dari Desa. (iskandar.faperta@uho.ac.id.)