Sehari-hari Makan Daun Ubi, Ditinggal Pergi Istri
Seorang bapak di desa Pesouha, hidup dengan tiga anaknya yang masih bocah di gubuk bekas kandang kambing. Hidupnya penuh iba namun tidak mendapatperhatian dari pemerintah setempat.
Muzakkir Azis, Pomalaa
Tiga bocah bermain sekenaknya didekat gubuk yang mirip rumah panggung ala kadarnya. Mereka berlarian sembari disaksikan baliho senyum presiden Joko Widodo dan wakil presiden Jusuf Kalla, lengkap logo partai pendukungnya saat Pilpres 2014 yang menempel di dinding gubuk. Pondasi gubuk itu tidaklah kokoh. Hanya balok dan kayu gelondongan ukuran kecil yang diperkuat dengan diikatkan pada pohon rambutan.
Lelah bermain, ketiga bocah tersebut lalu beriringan menapaki tumpukan batu, papan dan balok yang diatur sedemikian rupa hingga menyerupai tangga, masuk ke dalam gubuk. Suara langkah mereka terdengar jelas pada lantai gubuk yang terbuat dari papan ringkih. Mereka yang masih bocah itu, terlihat tinggi saat berada di dalam gubuk, karena kepala mereka nyaris menyentuh atap yang terbuat dari rumbia. Ya, rentang antara lantai dan atap rumah itu hanya sekitaran satu meter lebih sedikit.
Toh, mereka tidak peduli, tetap saja mereka bahagia tinggal di gubuk yang sudah mereka anggap rumah itu. Sedangkan dibalik senyum lepas para bocah, tergeletak tak berdaya Hamzah (57), ia sedari tadi memandang ketiga bocah yang tak lain anaknya itu dengan tatapan nanar. Entah apa yang dipikirkannya, tapi sebagai seorang bapak, ia memikul beban terhadap masa depan anak-anaknya.
Disitulah letak ironinya nasib Hamzah yakng kini tak dapat berbuat banyak lagi setelah terserang penyakit hingga mengakibatkan dia lumpuh. Jangankan bertanya soal masa depan anaknya yang masih samar, meraih kenyataan dalam hari-harinya saja, Hamzah sudah tidak berdaya. Gubuk yang dianggap rumah oleh ketiga anaknya itu, sebenarnya kandang kambing milik mendiang warga sekitar bernama Giri. Hamzah tinggal bersama istrinya tinggal di bekas kandang kambing yang terletak di desa Pesouha kecamatan Pomalaa itu sejak tahun 2012. Bahkan sebelumnya, mereka tinggal selama setahun lebih di bekas kandang ayam di area pasar Dawi-dawi, Pomalaa.
Hamzah bukan warga asli Kolaka, ia hanya pelarian dari konflik berdasrah yang pernah terjadi di Poso, Sulawesi Tengah sekitar tahun 1998. Terlahir di Maros, Sulawesi Selatan, ia kemudian mencari hidup di Poso. Saat terjadi konflik berdarah di Poso, ia dan istrinya terpaksa mengungsi dengan hanya membawa harta seadanya.
Ia menuturkan dalam pelariannya, Hamzah bersama istri hidup dari belas kasih orang yang ditemuinya di jalan. Hingga akhirnya, ia "terdampar" di kecamatan Pomalaa, kabupaten Kolaka sekitar tahun 2011. Bukannya kehidupan lebih layak yang didapati Hamzah, di daerah penghasil nikel itu, ia seolah terasing dan kesulitan menata hidupnya. Ia semakin tersudutkan karena tidak mendapatkan pengakuan oleh pemerintah setempat sebagai warga.
Sambil meneteskan air mata, Hamzah menceritakan, saat dirinya menginjakkan kaki di kecamatan Pomalaa, di mana anak pertamanya lahir di sebuah bekas kandang ayam milik warga yang ditempatinya, di area pasar Dawi-dawi, kecamatan Pomalaa, kabupaten Kolaka, pada tahun 2011 lalu. "Sementara anak kedua yang lahir pada tahun 2012 dan anak ketiga lahir pada tahun 2013, dilahirkan di sini (bekas kandang kambing milik warga)," ungkapnya sesekali mengusap air matanya.
Meski ketiga anaknya telah cukup usia untuk bersekolah, namun Hamzah yang kini menderita penyakit lumpuh tidak dapat memenuhinya lantaran tidak memiliki biaya. "Untuk keperluan hidup sehari-hari saja, masih berharap dari belas kasih dari orang lain yang datang. Meski dapat bantuan dari orang lain, yang paling sering saya, istri dan ketiga anak hanya memakan daun ubi yang ditanam di samping kandang kambing, untuk bisa bertahan hidup," ujarnya sembari memeluk ketiga anaknya.
Seiring berjalannya waktu, penderitaan Hamzah bersama ketiga anaknya terasa lengkap, saat satu bulan yang lalu istrinya pergi meninggalkannya, lantaran tidak tahan setiap harinya memakan daun ubi, serta tidur di bekas kandang kambing.
Hamzah tidak bisa berharap banyak kepada pemerintah kabupaten Kolaka, sebab, jangankan untuk mendapatkan pendidikan untuk anaknya dan biaya pengobatan untuk dirinya secara gratis, sebagaimana program dari pemerintah mulai tingkat pusat, provinsi hingga kabupaten, hanya sekedar mendapat surat keterangan domisili untuk pembuatan KTP saja ditolah oleh pemerintah setempat. Meski beberapa kali Babinsa desa Pesouha, kecamatan Pomalaa Serda Natan, menyarankan ke pemerintah desa untuk pembuatannya, namun selalu ditolak, dengan alasan tidak memiliki surat keterangan pindah dari daerah asal. (**)