Pembangunan Rumah Bersubsidi Terhambat Regulasi

  • Bagikan
KOLAKAPOS, Surabaya--Persatuan Perusahaan Realestat Indonesia (REI) Jatim menargetkan pembangunan rumah subsidi tahun ini mencapai 25 ribu unit. Namun, belum maksimalnya penyelenggaraan kebijakan tentang perizinan rumah subsidi di daerah dinilai bisa menghambat target pembangunan di Jatim pada tahun ini. Sekretaris REI Jatim Wasito Agus Pramono menyatakan, dengan melihat tingginya kebutuhan terhadap rumah tinggal, pihaknya optimistis target setahun tersebut tercapai. Kantong-kantong pembangunan rumah subsidi itu tersebar di beberapa wilayah. Misalnya, Banyuwangi, Jember, Malang, dan Kediri. ”Kalaupun tidak seluruhnya tercapai, kami perkirakan bisa realisasi 70–80 persen dari target,” ujarnya. Menurut dia, yang membuat target tersebut sulit tercapai adalah regulasi di daerah yang tidak konsisten. Sementara itu, hingga sekarang, pembangunan rumah subsidi mencapai sebelas ribu unit. Wakil Ketua REI Jatim Nur Wahid mengungkapkan, angka backlog di Jatim mencapai 560 ribu yang didominasi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR). Tiap tahun, angka backlog meningkat dengan rata-rata 35 ribu. Sementara itu, kemampuan membangun rumah subsidi mencapai 20 ribu. Salah satu kebutuhan perumahan yang menonjol dari kalangan masyarakat berpenghasilan tidak tetap atau non-fixed income. ”Diperkirakan, jumlah non-fixed income mencapai 60–70 persen dari masyarakat yg membutuhkan rumah,” katanya. Karena itu, diperlukan skema KPR khusus bagi para pekerja informal. ”Secara penghasilan, mereka feasible, tapi tidak bankable,” lanjutnya. Ketua Bidang Rumah Sejahtera Tapak REI Jatim Danny Wahid menambahkan, keengganan perbankan mengakomodasi sektor tersebut disebabkan aturan kolektibilitas kredit. Yakni, ketika ada aturan tunggakan mulai 1–90 hari, masuk dalam perhatian khusus. ”Sebisa mungkin, aturan 1–90 hari itu dihilangkan, khusus bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR),” tambahnya. Dorongan lain untuk rumah subsidi adalah perizinan. Sejak dikeluarkan aturan mengenai perizinan seperti PP 64/2016 tentang Rumah untuk MBR, implementasi di daerah belum terlihat. Sebab, tidak ada sinkronisasi antara peraturan daerah dan peraturan pemerintah pusat. ”Kalau itu bisa disinkronisasi, pembangunan rumah sejahtera bisa maksimal,” tegasnya. (jpnn)
  • Bagikan

Exit mobile version