94 Ribu Ton yang Diimpor Itu Bukan Beras tapi Menir
KOLAKAPOS, Jakarta--Kementerian Pertanian menanggapi gencarnya kritikan akan besarnya impor beras dalam tiga tahun terakhir kepemimpinan Jokowi-JK.
Menurut kementan, ada kesalahpahaman dalam memahami impor beras yang terjadi pada beberapa tahun terakhir.
Sebagaimana ramai beredar, ada total 1,2 juta impor beras yang terjadi pada tahun 2016. Kemudian ada lagi 94 ribu ton yang masuk pada periode Juni-Mei 2017.
Kementerian pertanian telah melakukan cek terhadap data Badan Pusat Stastistik (BPS) maupun ke pelabuhan.
Kepala Pusat Data dan Informasi Pertanian Kementan Suwandi menyatakan bahwa jumlah 1,2 juta ton tersebut merupakan luncuran dari impor beras dari kontrak Bulog pada tahun 2015.
“Sejak 2016 Kemendag tidak pernah terbitkan ijin impor, jadi itu beras luncuran tahun 2015,” kata Suwandi.
Suwandi menjelaskan, beras impor kontrak Bulog tahun 2015 tiba dalam dua tahap.
Sebagian pada tahun 2015, namun sisanya tiba pada awal tahun 2016. Jadi tidak bisa dianggap sebagai beras yang diimpor pada tahun 2016.
Sementara itu impor 94 ribu ton pada awal 2017 merupakan beras pecah 100 persen atau yang biasa disebut beras menir.
Beras semacam ini lazim diperuntukkan untuk dunia industri. Tidak untuk beras pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat luas.
“Kalau beras konsumsi namanya beras medium, itu kalau bukan bulog tidak boleh ada lain yang impor,” kata Suwandi.
Dalam rombongan 94 ribu ton tersebut, Suwandi juga menyebutkan ada sebagian kecil gabah yang diangkut, serta beberapa jenis beras khusus.
Yakni beras-beras mahal berkualitas sangat baik yang didistribusikan ke restoran-restoran mahal atau bahan makanan khusus. “Kalau beras konsumsinya sama sekali tidak ada,” katanya.
Suwandi berharap semua pihak bisa mengecek kebenaran langsung dan tidak serta merta berspekulasi. Impor yang tiba pada 2016 tidak mesti impor yang dibuat pada 2016.
Cara terbaik untuk mengecek kebenaran data impor, tidak cukup dengan mengandalkan data dari BPS.
Tapi juga harus mengecek ke lapangan langsung, yakni ke pelabuhan. “Data BPS juga kan ngambil dari pencatatan di pelabuhan,” pungkas Suwandi. (jpnn)