Di Bawah Bayang-Bayang Krisis Migas

  • Bagikan
KOLAKAPOS, Jakarta--Kebutuhan energi di Indonesia menunjukkan tren meningkat setiap tahunnya. Dari sisi transportasi, jumlah kendaraan bermotor terus meningkat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pada tahun 2013, tercatat jumlah kendaraan bermotor sebesar 104 juta. Tahun 2015, jumlahnya naik menjadi lebih dari 122 juta unit. Selain itu, ditilik dari pertumbuhan produksi industri manufaktur sedang dan besar, tumbuh 4 persen pada 2016. Di balik angka meningkatnya kendaraan, serta pertumbuhan ekonomi dan industri tersebut, seluruhnya membutuhkan energi. Saat ini, minyak dan gas bumi (migas) dalam bauran energi primer masih menjadi kontributor utama dengan porsi 69 persen. Menurut estimasi Dewan Energi Nasional (DEN), konsumsi migas Indonesia akan menjadi 3,63 juta barel setara minyak per hari di tahun 2025 dan 8,49 juta barel setara minyak per hari di tahun 2050. Di sisi lain, tren lifting migas terus menurun. Menurut data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), lifting migas telah turun dari 2,34 juta barel setara minyak per hari di 2010 menjadi 1,928 juta barel setara minyak per hari pada Juli 2017. Tanpa ada penemuan cadangan baru, lifting diperkirakan terus merosot menjadi 1,75 juta barel setara minyak per hari di tahun 2020. Ada banyak faktor yang bisa membuat Indonesia kekurangan pasokan migas. Selain menurunnya produksi migas nasional, faktor lain bisa datang dari kelancaran distribusi di industri hilir migas. Adapun aktifitas hulu migas meliputi eksplorasi dan produksi. Eksplorasi adalah studi geologi dan geofisika, survei seismik, dan pengeboran untuk menemukan cadangan migas baru. Sedangkan produksi adalah proses mengangkat migas dari dalam perut bumi ke permukaan. Sementara itu, kegiatan industri hilir terdiri dari pengolahan, pengangkutan, penyimpanan, dan penjualan bahan bakar. Ada tantangan besar di industri hulu migas. Produksi minyak bumi di Indonesia tahun 2017 berkisar 800 ribu barel per hari. Jauh dari kebutuhan dalam negeri yang sebesar 1,6 juta barel per hari. Untuk menutupi kekurangan tersebut, pemerintah mengimpor minyak. Sejak tahun 2004, Indonesia sudah menyandang status sebagai net importer minyak. Ke depan, kebutuhan minyak bumi semakin bertambah. DEN memproyeksikan kebutuhan minyak Indonesia mencapai 1,93 juta barel per hari pada 2025. Kemudian melonjak ke angka 3,86 juta barel per hari pada 2050. Bagaimana dengan gas bumi? Indonesia belum menjadi negara net importer gas karena pasokan gas dalam negeri masih lebih besar dari konsumsi. Namun, tren pemakaian gas meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2011, konsumsi sebesar 3,15 miliar kaki kubik per hari. Meningkat menjadi 3,85 miliar kaki kubik per hari pada 2016. Estimasi DEN, pada 2025 konsumsi gas domestik naik hampir tiga kali lipat menjadi 9,5 miliar kaki kubik per hari, kemudian melonjak ke angka 26 miliar kubik per hari. Ada banyak faktor yang membuat produksi migas menurun. Semua itu tidak terlepas dari kondisi migas saat ini. Sebut saja, lapangan migas menua. Sebanyak 72 persen produksi migas nasional berasal dari lapangan-lapangan tua yang telah berproduksi lebih dari 30 tahun. Padahal, laju penurunan alami lapangan migas Indonesia sangat tinggi. Untuk minyak bumi, rata-rata penurunan alamiah mencapai 29 persen per tahun dan gas bumi 18 persen per tahun. “Butuh biaya tinggi untuk mempertahankan level produksi migas. Nilai investasi yang ada saat ini pun belum cukup untuk mempertahankan level produksi,” kata Kepala SKK Migas, Amien Sunaryadi. Selain itu, sebanyak 64 persen pipa panyalur dan 57 persen anjungan lepas pantai sudah terpasang sebelum tahun 1980. Pencarian cadangan migas melalui kegiatan eksplorasi pun belum membuahkan hasil yang menggembirakan. Cadangan migas Indonesia semakin menipis. Berdasarkan data SKK Migas, untuk minyak pada tahun 2009, cadangan terbukti sebesar 4,3 miliar barel. Jumlah ini turun menjadi 3,3 miliar barel pada 2016. Begitu pula dengan gas bumi, pada 2009 cadangan terbukti sebesar 107,3 triliun kaki kubik, turun menjadi 101,2 triliun kaki kubik pada 2016. Berdasarkan BP Statistical Review 2016, cadangan minyak Indonesia ini hanya 0,2 persen dari total cadangan minyak dunia. Sedangkan untuk gas, cadangan terbukti Indonesia hanya 1,5 persen dari cadangan gas dunia. Dari angka tersebut tidak mengherankan apabila nilai ketergantian cadangan atau reserve replacement ratio (RRR) belum ideal. Angka RRR pada 2016 hanya 64,4 persen. Nilai ideal RRR adalah 100 persen. Artinya, bila mengambil 1 barel minyak dari perut bumi, mesti diimbangi dengan upaya menemukan cadangan baru dengan volumen yang sama. Mengapa kondisi ini bisa terjadi? Hasil survei indeks persepsi oleh Fraser Institute, organisasi riset independen internasional, menunjukkan iklim investasi migas Indonesia menduduki peringkat ke 79 di dunia. Posisi ini menempatkan Indonesia di peringkat terbawah dari negara-negara di Asia Tenggara. Malaysia berada di posisi ke 41, sedangkan Kamboja di peringkat 72. Penilaian tersebut berdasarkan tingginya pajak bagi pelaku industri hulu migas, beban kewajiban dan ketidakpastian regulasi, serta stabilitas politik dan keamanan. Penurunan harga minyak dunia yang terjadi tiga tahun terakhir semakin menekan industri hulu migas di tanah air. Pada Juni 2014, harga minyak masih bertengger di angka US$112 per barel. Status per Juni 2017, harga minyak berada dikisaran US$48 per barel. Banyak investor migas menurunkan aktifitas eksplorasi di banyak negara, termasuk di Indonesia. Perusahaan migas melakukan hal itu untuk menekan pengeluaran dan menghindari kerugian. Bila keadaan tersebut terus berlanjut dan tidak ada perbaikan iklim investasi di Indonesia, bukan tidak mungkin investor semakin enggan menanamkan modalnya di dalam negeri. Bahkan, investor yang sudah ada bisa saja hengkang dari Tanah Air. Hal ini akan berdampak langsung bagi ketahanan energi nasional. (jpnn)
  • Bagikan

Exit mobile version