Keuangan Syariah Jadi Solusi Utama Pembiayaan Pembangunan RI
KOLAKAPOS, Jakarta--Ketua Umum DPP PKB A. Muhaimin Iskandar mengatakan untuk membantu pemerintah meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan fokus mengurangi kemiskinan dan tingkat pengangguran, maka diperlukan sebuah sistem ekonomi yang inklusif. Dalam hal ini, kehadiran sistem keuangan syariah dipandang sebagai sistem yang tepat. Pasalnya, sistem tersebut berlandaskan nilai-nilai keadilan, kebersamaan dan keseimbangan dalam menggerakkan roda perekonomian.
“Jika industri keuangan syariah betul-betul didorong, diperkuat dan terus dikembangkan, maka keuangan syariah akan dapat menjadi salah satu solusi utama dalam pembiayaan pembangunan di negara Indonesia, baik untuk pembangunan ekonomi umat, infrastruktur maupun dalam pembiayaan program pengentasan kemiskinan dan mengurangi ketimpangan sosial,” kata Muhaimin Iskandar selaku Keynote Speech Diskusi Publik dengan tema “Prospek Indonesia Sebagai Pusat Keuangan Syariah Global” di Jakarta.
Diskusi yang digelar Dewan Pengurus Pusat Partai Kebangkitan Bangsa (DPP PKB) ini menghadirkan narasumber yakni Wimboh Santoso (Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan atau DK OJK), Perry Warjiyo (Deputi Gubernur Bank Indonesia), Asrorun Ni’am Sholeh,(Sekretaris Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia), Hendri Saparini (Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics/CORE) dengan moderator diskusi yakni H. Fathan Subchi (Kapoksi XI Fraksi PKB DPR RI).
Diskusi ini bertujuan untuk memperoleh gambaran yang utuh terhadap perkembangan, permasalahan, potensi, peluang, tantangan dan hambatan pengembangan keuangan syariah di Indonesia. Selain itu, untuk mengetahui peranan Otoitas Jasa Keuangan dan Bank Indonesia selaku regulator dan stakeholder terkait seperti Majelis Ulama Indonesia dan masyarakat lainnya dalam mendukung menjadikan Indonesia sebagai pusat keuangan syariah global.
Menurut Muhaimin, dalam tataran ekonomi global, kinerja ekonomi dan keuangan syariah dunia memperlihatkan pertumbuhan yang pesat. Pada 2015, volume industri halal global mencapai US$ 3,84 triiun dan diperkirakan mencapai US$ 6,38 triliun pada 2021.
Sementara itu di Indonesia, meskipun pertumbuhan keuangan syariah tercatat tinggi, posisi Indonesia dalam Global Islamic Economic Indicator 2017 masih berada pada urutan ke-10. Jika dilihat asetnya, masih sangat kecil, misalnya pasar perbankan syariah pada 2016 baru mencapai 5,3 persen, masih kecil sekali bila dibandingkan seluruh aset industri perbankan nasional di Indonesia.
“Capaian ini masih berada jauh dibawah negara-negara lain seperti Arab Saudi 51,1 persen, Malaysia 23,8 persen, dan Uni Emirat Arab 19,6 persen,” katanya.
Lebih lanjut, Muhaimin menjelaskan selama 2016, industri keuangan syariah nasional mengalami pertumbuhan yang cukup tinggi yaitu sebesar 29,84 persen. Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) hingga Agustus 2017, total aset keuangan syariah Indonesia (tidak termasuk Saham Syariah) mencapai Rp 1.048,8 triiun, yang terdiri aset Perbankan Syariah Rp 389,74 triiun, IKNB Syariah Rp 99,15 triiun, dan Pasar Modal Syariah Rp 559,59 triliun. Jumlah tersebut jika dibandingkan dengan total aset industri keuangan yang mencapai Rp 13.092 triliun, maka market share industri keuangan syariah sudah mencapai 8,01persen.
Menurutnya, Partai Kebangkitan Bangsa memandang bahwa Indonesia seharusnya bisa memimpin dan menjadi pusat keuangan syariah dunia. Sebagai negara dengan penduduk muslim terbesar, sudah selayaknya Indonesia menjadi pelopor dan kiblat pengembangan keuangan dan perbankan syariah di dunia. Hal ini bukan merupakan impian yang mustahil karena potensi Indonesia untuk menjadi pemain inti keuangan dan perbankan syariah sangat besar.
Dilihat dari jumlah pelaku industri keuangan syariah di Indonesia yaitu perbankan, pasar modal dan IKNB boleh dibilang sangat banyak. Industri perbankan syariah saat ini terdiri dari 13 bank umum syariah, 21 bank unit syariah, dan 167 BPR syariah, memiliki total aset Rp 389,7 triliun atau 5,44 persen dari total aset perbankan nasional. IKNB syariah terdiri dari 59 asuransi syariah, 38 pembiayaan syariah, 6 penjaminan syariah, 10 LKM syariah dan 10 IKNB syariah lainnya, memiliki aset Rp99,15 triliun atau 4,78 persen dari total aset IKNB nasional.
Sampai Agustus 2017, jumlah Sukuk Negara outstanding mencapai 56 seri atau 33,53% dari total jumlah Surat Berharga Negara outstanding sebanyak 167, dengan nilai outstanding mencapai Rp524,71 triliun atau 16,99 persen dari total nilai surat berharga negara outstanding sebesar Rp3.087,95 triliun. Sukuk korporasi outstanding per 31 Agustus 2017 sebanyak 68 seri dengan nilai sebesar Rp14,259 triliun.
Jumlah reksadana syariah per 31 Agustus 2017 sebanyak 160 atau meningkat sebesar 17,65 persen dibandingkan akhir tahun 2016 yaitu 136. Sementara NAB per 31 Agustus 2017 sebesar Rp 20,62 triliun atau meningkat 38,30% dibandingkan NAB akhir tahun 2016 sebesar Rp14,91 triliun.
Melihat potensi yang dimiliki Indonesia, terutama dengan memanfaatkan bonus demografi dan prospek pertumbuhan ekonomi yang tinggi, maka pengembangan keuangan syariah diharapkan turut berkonstribusi dalam mendukung transformasi perekonomian pada aktivitas ekonomi produktif, bernilai tambah tinggi dan inklusif. Tantangan yang masih dihadapi adalah masih kurangnya awareness, pemahaman dan utilitas masyarakat terhadap produk keuangan syariah.
Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Keuangan OJK Tahun 2016, tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia masih jauh dari maksimal yaitu sebesar 8,11 persen dengan tingkat inklusi mencapai 11,06 persen. Ini artinya, hanya 8 dari 100 orang yang memahami produk dan layanan keuangan syariah dan terdapat sebanyak 11 dari 100 orang yang memiliki akses terhadap produk dan layanan lembaga jasa keuangan syariah.
Untuk itu, PKB juga mendesak penguatan sinergitas kepada otoritas terkait keuangan syariah di Indonesia seperti Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI agar membuat regulasi yang efesien dan efektif untuk mendukung perkembangan ekonomi syariah.
Supaya tidak tumpang tindih, menurut Muhaimin, maka regulasi ketiga institusi tersebut harus sesuai dengan tupoksinya masing-masing, misalnya Bank Indonesia dalam pengembangan keuangan syariah tetap fokus pada kebijakan makroprudensial. Begitu juga OJK yang memiliki otoritas pada kebijakan mikroprudensial-nya; dan Dewan Syariah Nasional (DSN) MUI yang menjaga kesyariahan segala kegiatan transaksi keuangan syariah, sehingga pada akhirnya akan mempercepat tingkat literasasi keuangan syariah di Indonesia tentunya.
Secara khusus PKB menyambut baik gebrakan program inklusi keuangan OJK dengan mendorong pendirian Lembaga Keuangan Mikro Syariah (LKM Syariah) dengan mengikutsertakan tokoh panutan seperti para ulama pengasuh pesantren. Dengan demikian diharapkan mampu memberdayakan serta meningkatkan akses keuangan dan kesejahteraan masyarakat khususnya di pesantren dan sekitarnya.(fri/jpnn)