500 TKA Dalam Perspektif Sumber Daya Manusia
Sebagai proyek strategis nasional yang diresmikan oleh Menteri Perindustrian dan Gubernur Sultra pada tahun 2019, Morosi berperan penting dalam meningkatkan perekonomian (PDRB) dan pendapatan masyarakat serta mengurangi kemiskinan dan pengangguran. Salah satu indikator keberhasilannya adalah pengelolaan sumber daya manusia (Human Reosurce Management)
Sumber Daya Manusia (SDM) sebagai modal pembangunan masyarakat dan daerah (khususnya pertambangan dan industry lainnya) di Sultra. Sebelum saya mengulas lebih dalam, alangkah baiknya saya menjelaskan secara akademis benang merah SDM dan modal manusia (Human Capital).
Menurut Schermerhorn (1994) yang diterjemahkan kembali oleh Jimmy L. Gaol (2014), adalah orang, individu-individu dan kelompok-kelompok yang membantu organisasi menghasilkan barang-barang atau jasa-jasa. Jika saya refleksikan lebih mengerucut maka SDM terdiri dari manusia-manusia yang menjadi modal dasar perusahaan dalam proses kemajuan perusahaan tersebut.
Sampai disitu berarti SDM merupakan modal dasar yang terbentuk dari sekelompok manusia yang dapat meningkatkan kinerja perusahaan. Menurut Muhaimin Iskandar (2013) bahwa human capital terbentuk disebabkan dua hal besar, yakni :
- Isu-isu strategis yang bergerak dalam level Internasional. Dalam konteks ini, globalisasi menjadi tolak ukur membangun SDM. Globalisasi diartikan proses pembangunan mental dan karakter untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa.
- Isu strategis yang bergerak dalam level Nasional. Antara tahun 2015 – 2030 Indonesia mengalami krisis demografi, yakni sebagian besar penduduk berusia kerja dalam era global dan revolusi industri 4.0.
Nah, hubungannya dengan PT. VDNI (dan lainnya), sebagaimana diatur dalam UU 25/2007, tentang penanaman Modal Asing (PMA), pemerintah telah menyediakan sejumlah regulasi sehingga dapat mengantisipasi ekspansi TKA, misalnya UU 13/2003, Perpres 20/2018 dan Permenaker 10/2018. Secara jelas dan tegas mengatur lalu lintas, kualitas dan kuota TKA yang wajib masuk ke Indonesia. Kesemuanya itu dengan tujuan agar anak bangsa kita tidak menjadi TAMU DI RUMAH SENDIRI.
Sebelum saya mengisahkan bagaimana sih pembangunan SDM PT VDNI, terlebih dahulu saya mengulas bagaimana alur TKA dan kasat pembeda dengan tenaga lokal.
Dalam menjalankan pertambangan tentunya penggunaan TKA sangat dibutuhkan dalam konteks transfers-ilmu dan pengetahuan. Sejak 2018 sebesar 95.335 TKA tersebar di Indonesia. Dari jumlah tersebut sebanyak 30.626 profesional, 21.237 tingkat manajer dan 30.708 adviser, konsultan dan direksi. Jika dikomparasikan jumlah penduduk Indonesia (268.829 juta jiwa) maka total populasi TKA hanya 0.04%. Sangat sedikit jika dibandingkan Malaysia, Singapura bahkan UEA (telah dibahas pada bagian pertama).
Lalu bagaimana prosedur masuknya TKA? Berdasarkan Perpres 20/2018, Pasal 1, ayat 1 bahwa TKA adalah warga negara asing pemegang visa dengan maksud bekerja diwilayah Indonesia. Selanjutnya syarat untuk masuknya TKA diatur dalam Permenaker 10/2018 (pengganti Permenaker 16 dan 35 tahun 2015), point ketiga dari 7 point yakni perusahaan swasta asing yang berusaha di Indonesia. Setalah itu, perusahaan harus memenuhi syarat wajib pemberi kerja, yakni :
- Memiliki Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
- Membayar dana kompensasi penggunaan tenaga kerja asing (DKP-TKA) untuk setiap TKA yang diperkerjakan.
- Mengikutsertakan TKA dalam program asuransi di Indonesia minimal 6 bulan bekerja
- Mengikutsertakan TKA pada program Jaminan Sosial Nasional minimal 6 bulan kerja
- Menunjuk tenaga kerja pendamping alih teknologi dan keahlian TKA
- Melaksanakan Pendidikan dan pelatihan bagi tenaga kerja pendamping (local)
- Memfasilitasi Pendidikan dan pelatihan Bahasa Indonesia bagi TKA.
Setelah melengkapi semua dokumen yang dimaksud di atas, perusahaan mendaftarkan secara online melalui Dirjen Pembinaan dan Penempatan Tenaga Kerja dan Perluasan Kesempatan Kerja atau Direktur Pengendalian Penggunaan TKA.
Kemudian, sesuai UU 13/2003, perusahaan asing yang memperkejakan TKA maka harus memenuhi syarat bekerja sebagai berikut :
- Memiliki Pendidikan sesuai dengan kualifikasi jabatan yang akan diduduki
- Memiliki sertifikasi kompetensi atau pengalaman kerja minimal 5 tahun sesuai kualifikasi jabatan atau pekerjaan
- Mengalihkan keahlian kepada tenaga kerja local (pendamping)
- Memiliki NPWP bagi TKA yang bekerja selama 6 bulan
Nah dari sini telah terang benderang, apa yang masyarakat kritisi, sehingga menolak kedatangan 500 TKA ? Silakan adukan dan demo namun tetap didukung data dan fakta berdasarkan UU 13 / 2003 tentang ketenagakerjaan dan UU 16 / 2011 tentang keimigrasian.
Sekali lagi anda wajib membawa data dan dokumentasi lengkap untuk mendukung laporan anda. Jika tidak, bukan berarti pemerintah tidak respon, apalagi sampai menyalahkan Gubernur.
Lalu bagaimana dengan PT. VDNI? Berdasarkan data yang saya peroleh, telah memenuhi seluruh unsur yang dimaksud di atas. Bukan bermaksud mendikotomikan kasus, tapi dari aspek regulasi dan perizinan, PT. VDNI secara yuridis telah memiliki dokumen lengkap sesuai persyaratan di atas. Jika tidak memenuhi tentulah tidak akan lolos dan mendapat persetujuan masuk ke Sultra.
Kemudian saya bertanya pada diri saya. Apakah PT. VDNI telah melakukan pengembangan SDM khususnya tenaga kerja lokal?
Sesuai dengan rencana jangka panjang perusahaan bahwa nantinya tenaga kerja lokal yang dipekerjakan sebanyak 18.200 orang. Untuk membangun SDM pekerja lokal maka dilakukan langkah-langkah berikut :
- Sejak 2014 telah melakukan program magang bagi 80 tenaga kerja lokal ke China untuk gelombang pertama dan kedua. Dan selanjutnya akan dilaksanakan setiap tahunnya.
- Pada tahun 2016 – 2017 telah memberangkatkan 100 tenaga kerja lokal ke Politeknik di Jiangsu, China.
- Rencana pembangunan Perguruan Tinggi atau Institute pertambangan di SULTRA sebagai wujud nyata regenerasi pekerja lokal
- Membangun Nanjing Polytechnic Institute dan bekerjasama dengan UHO di Kota Kendari.
- Kehadiran TKA adalah sebagai kewajiban perusahaan untuk melalukan alih teknologi dan keahlian kepada pekerja lokal. Menurut aturan minimal 1 TKA memberi pendampingan terhadap 5 tenaga kerja lokal.
- Pendistribusian Coorporate Social responsibility (CSR) melalui pemberian beasiswa, jalan beton sepanjang 10 KM.
- Bantuan bagi UKM sekitar masyarakat tambang
- Pembangunan rumah ibadah, tempat pengajian Alquran dan sekolah di sekitar Mosori
Kesemuanya point di atas dalam rangka membangun SDM lpekerja lokal dan cikal bakal pekerja lokal yang unggul dan berdaya saing.
Dari ulasan di atas apakah kita sudah paham? Tentunya masih meragukan kredibilitas dan niat perusahaan. Apakah mereka bisa sustainaible melakukan alih teknologi, pengurusan visa yang benar, TKA yang sesuai keahliannya, dan masih banyak cerita yang terngiang-ngiang dipikiran kita.
WAJAR !!! Karena kita semua baik pemerintah Sultra, Pemda Konawe, Kepolisian, TNI, Imigrasi, tokoh masyarakat dan agama, akademisi, mahasiswa serta masyarakat awam pasti selalu mencurigai adanya okunum bermain atau adanya cara-cara licik perusahaan. Namun saya bercerita terkait pengalaman sewaktu dipercaya menukangi bidang penegakan hukum lingkungan. Dari sekian banyak kasus, jujur saya banyak menemukan kasus ketidaktaatan pada perusahaan pribumi. Misal, pembuangan limbah langsung ke outlet dan penampungan limbah kelapa sawit ataupun limbah sagu. Begitu juga, pembuangan limbah PT. NII Tonasa yang diduga dilakukan sehingga mencemari terumbu karang dan masih banyak lagi yang ternyata dilakukan perusahaan lokal.
Sementara perusahaan asing (bukan membela) justru kesalahan mereka karena ketidaktahuan (ada juga oknum nakal karena ingin mengeluarkan uang sedikit maka visa kerja diubah menjadi visa wisata. TAPI… itu tidak boleh digeneralisasikan, karena hanya segelintir oknum NAKAL dan bekerjasama dengan OKNUM NAKAL pula…). Misalnya, SLAG atau sampah dari pertambangan nikel. Dalam UU 32/2009 itu dikategorikan limbah B3, namun di China SLAG itu bahkan dijadikan makanan ayam, pupuk dan buat campuran aspal jalan kampung… bahkan PT. ANTAM pun pernah merasakan rapor Biru (entah sampai sekarang) karena melakukan reklamasi buat jalan menggunakan SLAG.
Lalu, pantaskah kita alamatkan masalah itu kepada Gubernur SULTRA? Sangat tidak rasional dan proporsional.
Sekali lagi saya sampaikan, Gubernur dibantu oleh Dinas terkait. Misal, Dinas Lingkungan Hidup mengeluarkan AMDAL dan jika terdapat pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan, monggo… masyarakat, perorangan, kelompok, NGO ataupun lembaga berafiliasi dengan lingkungan buat ADUAN ke Bidang Penegakan Hukum DLH Prov. Begitu juga jika terjadi pelanggaran visa masuk, segera adukan ke imigrasi. Jika terjadi penggunaan TKA yang tidak kompeten. Silakan adukan ke Dinas tenaga Kerja.
TAPI… sekali lagi lengkapi dengan bukti dan dokumentasi, sehingga memudakah aparat melakukan investigasi. Jika ada aduan dan setelah dilakukan investigasi serta didapat bukti. Gubernur sebagai pemberi izin akan melakukan teguran lisan, tertulis, sanksi dan penutupan usaha serta pidana. Namun jika tidak ada data yang diadukan dan hanya melakukan demo, boikot dan penolakan TKA serta menuding Gubenur membela TKA maka itu FITNAH….
Gubernur Sultra sangat mencintai dan mendukung masyarakatnya untuk sejahtera dari pertambangan. Namun Gubernur juga sebagai perpanjangan tangan PEMERINTAH PUSAT tidak serta merta menolak TKA, jika memenuhi segala persyaratan. Bedakan hari ini (New Normal) dengan dua bulan lalu dimana masyarakat SULTRA masih panik dengan serangan Covid19, sehingga Gubernur mengambil SIKAP menolak untuk sementara karena menjaga marwah kebatinan masyarakat SULTRA.
Mari kita sudahi polemik yang tidak elok ini…. Bantu dan dukung Bapak Gubernur untuk sebuah kesejahteraan masyarakat Sultra.
Bantu edukasi masyarakt terhadap informasi positif dan sehat. Bersambung ….. Penulis: (Kandidat Doktor) M. Ridwan Badallah, S.Pd., MM. Kepala Bidang Sosial dan Kependudukan Badan Penelitian dan Pengembangan Provinsi Sulawesi Tenggara