CSR Pertanian Berbasis ESG: Perusahaan Jangan Sekadar Menggugurkan Kewajiban

  • Bagikan

Undang-undang mewajibkan perusahaan menyalurkan dana Corporate Social Responsibility (CSR) untuk tanggung jawab sosial dan lingkungan. Outputnya diharapkan dapar meningkatkan kesejahteraan dan menjaga kelestarian lingkungan secara berkesinambungan. Namun, kebanyakan perusahaan menyalurkan dana CSR sekadar menggugurkan kewajiban, tanpa menghiraukan nilai-nilai sustainable development goals (SDGs). Kewajiban menyalurkan dana CSR diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) dan Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2012 tentang Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan Perseroan Terbatas (PP 47/2012).


Krisis pangan dan Kelemahan Pendekatan CSR Lama
Dalam beberapa tahun terakhir, dunia menghadapi guncangan krisis pangan global akibat perubahan iklim, konflik geopolitik, hingga ketimpangan distribusi hasil pertanian. Indonesia, sebagai negara agraris, tentu tak luput dari dampaknya. Petani sebagai garda terdepan produksi pangan justru menjadi kelompok paling rentan. Di tengah tekanan ini, pendekatan lama dalam membantu petani perlu ditinjau ulang. Selama ini, program CSR pertanian di Indonesia masih cenderung bersifat parsial dan insidental. Misalnya, banyak perusahaan yang sekadar menyalurkan bantuan pupuk, bibit, atau traktor tanpa disertai program pembinaan berkelanjutan. Di beberapa daerah, CSR dijalankan dalam bentuk pelatihan singkat yang tidak diikuti dengan monitoring dampak jangka panjang. Sebagai contoh, sebuah perusahaan menyalurkan alat pertanian modern kepada kelompok tani, namun tanpa pelatihan intensif, alat tersebut akhirnya tidak dimanfaatkan secara optimal. Di sisi lain, ada pula perusahaan yang mengadakan lomba hasil panen sebagai bagian dari CSR, namun belum menyentuh akar persoalan seperti akses permodalan atau kestabilan harga jual hasil panen. Kini saatnya mendorong Corporate Social Responsibility (CSR) pertanian yang berbasis ESG (Environmental, Social, and Governance) sebagai solusi strategis.

Selama ini, CSR di sektor pertanian kerap identik dengan bantuan sarana produksi atau kegiatan seremonial musiman. Bantuan-bantuan ini memang terlihat baik di permukaan, namun tidak mampu menjawab akar persoalan yang dihadapi petani secara sistemik. Tantangan pertanian saat ini jauh lebih kompleks: mulai dari kerusakan ekosistem, degradasi lahan, hingga ketergantungan pada input kimia yang mahal dan tidak ramah lingkungan.

Lebih dari itu, petani juga menghadapi kesenjangan akses informasi, keterbatasan teknologi, serta posisi tawar yang lemah dalam rantai nilai pangan. Banyak petani kesulitan mengakses pasar yang adil dan harga yang stabil, karena dikendalikan oleh tengkulak atau perusahaan besar. Di sinilah ESG menawarkan kerangka yang lebih menyeluruh. ESG bukan sekadar standar keberlanjutan global, melainkan juga kompas moral baru dalam membangun pertanian yang tangguh dan adil.

Dimensi ESG
Aspek lingkungan (Environmental) dalam kerangka ESG mengajak perusahaan untuk terlibat aktif dalam pelestarian ekosistem pertanian melalui berbagai strategi berkelanjutan. Salah satu fokus utama adalah menjaga kesuburan tanah yang semakin terancam akibat penggunaan bahan kimia berlebihan dan praktik monokultur. Perusahaan dapat berperan dengan mendorong praktik pertanian konservatif seperti rotasi tanaman, penggunaan pupuk organik, serta rekayasa tata kelola air yang efisien untuk konservasi sumber daya air. Selain itu, pelibatan petani dalam pelatihan tentang teknik budidaya yang ramah lingkungan dapat meningkatkan kesadaran ekologis sekaligus produktivitas hasil pertanian.


Lebih lanjut, mitigasi dampak perubahan iklim dalam sektor pertanian dapat dilakukan melalui pendekatan sistemik seperti pengembangan agroforestri, pertanian organik, dan integrasi energi terbarukan dalam seluruh rantai pasok pangan. Sistem agroforestri tidak hanya menyeimbangkan produksi dengan konservasi hutan, tetapi juga meningkatkan ketahanan lahan terhadap erosi dan kekeringan. Sementara itu, penggunaan panel surya untuk irigasi dan pengolahan hasil panen dapat menurunkan ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Dengan demikian, kontribusi sektor swasta melalui CSR berbasis lingkungan tidak hanya menurunkan jejak karbon, tetapi juga memperkuat ketahanan pangan dan menjaga produktivitas lahan secara berkelanjutan.
Sementara itu, dimensi sosial (Social) dalam kerangka ESG menuntut perusahaan untuk lebih dari sekadar hadir di tengah komunitas pertanian, tetapi juga aktif membangun kapasitas dan daya saing masyarakat lokal. Salah satu wujudnya adalah peningkatan kualitas sumber daya manusia petani melalui pelatihan, pendampingan teknis, dan penguatan kelembagaan kelompok tani. Perusahaan dapat menyelenggarakan program pelatihan kewirausahaan bagi pemuda desa, akses literasi keuangan, serta fasilitasi kemitraan pasar untuk memastikan bahwa petani tidak hanya menjadi produsen, tetapi juga pelaku usaha yang mandiri. Dengan begitu, petani memiliki peluang untuk meningkatkan pendapatan, mengurangi ketergantungan pada tengkulak, dan membangun usaha agribisnis yang berkelanjutan.

Selain itu, perhatian khusus perlu diberikan pada kelompok yang selama ini kurang terwakili, seperti perempuan tani dan petani kecil. Pemberdayaan perempuan dalam sektor pertanian dapat dilakukan melalui peningkatan akses mereka terhadap lahan, permodalan, pelatihan, dan peran kepemimpinan dalam kelompok tani atau koperasi. Dalam banyak kasus, perempuan memiliki peran sentral dalam proses produksi dan pengelolaan rumah tangga pertanian, namun sering kali tidak memperoleh pengakuan atau akses yang setara. Oleh karena itu, program CSR berbasis ESG harus memastikan prinsip keadilan sosial, termasuk dengan menyediakan skema perlindungan sosial seperti asuransi pertanian, jaminan kesehatan, atau tabungan kelompok bagi petani kecil. Pendekatan ini akan memperkuat ketahanan komunitas desa dan menciptakan ekosistem pertanian yang lebih inklusif.

Di sisi tata kelola (Governance), prinsip ESG menekankan pentingnya transparansi, akuntabilitas, dan keterlibatan aktif petani dalam setiap proses pengambilan keputusan yang berdampak pada kehidupan mereka. Perusahaan tidak cukup hanya merancang program CSR secara internal, tetapi harus membuka ruang dialog dan konsultasi dengan para petani, tokoh masyarakat, dan pemangku kepentingan lokal lainnya. Pendekatan partisipatif ini bertujuan agar program yang dijalankan benar-benar relevan dengan kebutuhan masyarakat dan memiliki tingkat keberterimaan yang tinggi. Transparansi dalam perencanaan, pendanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi program menjadi fondasi penting untuk membangun kepercayaan jangka panjang antara perusahaan dan komunitas tani.
Lebih dari itu, paradigma CSR harus berubah dari pola hubungan satu arah menjadi kemitraan sejajar antara perusahaan dan petani. Petani tidak boleh lagi diposisikan sebagai penerima bantuan pasif, melainkan sebagai subjek pembangunan yang memiliki pengetahuan, pengalaman, dan hak untuk menentukan arah perubahan di wilayah mereka. Perusahaan dapat membentuk forum-forum kolaboratif seperti musyawarah desa, dialog ESG lintas sektor, atau dewan konsultatif petani untuk menyerap aspirasi dan mengevaluasi dampak program secara berkala. Dengan melibatkan petani sebagai mitra aktif, tata kelola CSR pertanian akan menjadi lebih demokratis, adaptif, dan berdampak jangka panjang terhadap kemandirian komunitas.

Tata kelola Partisipatif dan Peran Pemerintah
Dalam mewujudkan CSR pertanian berbasis ESG yang berdampak nyata, perusahaan perlu menyusun peta jalan (roadmap) keberlanjutan yang memuat indikator ESG secara terukur. Misalnya, dalam aspek lingkungan, perusahaan dapat bermitra dengan lembaga riset dan universitas untuk mengembangkan model pertanian regeneratif yang sesuai dengan kondisi lokal. Program seperti rehabilitasi lahan kritis, peralihan ke pupuk organik, dan integrasi energi surya dalam sistem irigasi adalah langkah konkret yang bisa dijadikan bagian dari komitmen ESG. Semua kegiatan ini harus dilengkapi dengan baseline data dan evaluasi dampak secara berkala agar hasilnya tidak hanya klaim, tapi terbukti secara ilmiah.

Pada aspek sosial, CSR berbasis ESG harus melampaui sekadar kegiatan pelatihan. Perusahaan dapat mendorong skema pendampingan intensif melalui penyuluh lapangan atau petani mitra senior, sehingga transfer pengetahuan berjalan berkelanjutan. Selain itu, akses petani terhadap teknologi digitalseperti platform e-commerce hasil tani, aplikasi cuaca dan harga komoditas, serta sistem manajemen pertanian digital dapat membuka peluang peningkatan pendapatan dan efisiensi. Pemberdayaan perempuan tani juga harus menjadi prioritas, baik dalam kepemilikan lahan, akses modal, maupun pengambilan keputusan dalam kelompok tani.

Dalam aspek tata kelola, perusahaan harus membuka ruang partisipasi komunitas dalam setiap tahap perencanaan dan evaluasi program. Forum multipihak seperti dialog desa, musyawarah tani, atau forum ESG lintas stakeholder dapat menjadi wadah aspirasi dan kontrol sosial. Selain itu, transparansi pelaporan program CSR berbasis ESG penting dilakukan secara berkala dalam bentuk dokumen yang mudah diakses publik, seperti laporan keberlanjutan atau dashboard online. Pemerintah juga bisa mengambil peran strategis sebagai fasilitator kebijakan, dengan mewajibkan pelaporan ESG bagi perusahaan yang bergerak di sektor pertanian dan agroindustri melalui regulasi yang adaptif. (iskandar.faperta@uho.ac.id.)

  • Bagikan

Exit mobile version