Lewi Kona, Warga Pesouha yang “Dicampakkan”

  • Bagikan
?????????????

Hujan Datang, Terkadang Anak Mengungsi ke Sekolah

Hidup ini memang berat. Ungkapan itu sangat tepat untuk menggambarkan kondisi kehidupan pasangan Lewi Kona dan istrinya, Maria Sapan, yang tinggal di desa Pesouha, kecamatan Pomalaa, kabupaten Kolaka. Mereka seolah "dicampakkan" oleh pemerintah. Terlebih lagi, lokasi rumahnya masuk wilayah ring I perusahaan tambang nikel terbesar di Indonesia. Nawir, Kolaka Gonggongan anjing dan riuhnya suara ayam seakan menyapa sore itu (30/9). Di pelataran rumah berukuran sekitar 7x6 terpancar senyum lelaki paruh baya, yang tengah asyik menikmati secangkir kopi dan rokok di atas tumpukan kayu usang. Setelah saling memperkenalkan diri, pria yang kesehariannya bekerja serabutan tersebut mulai bercerita sedikit demi sedikit tentang kehidupannya. Namun sebelumnya, untuk bisa sampai ke lokasi tersebut awak media harus memasuki jalan yang berbatu dan belum diaspal. Laju kendaraan tidak bisa dipacu, selain jalan yang licin, juga berbatuan dengan banyak lobang. Padahal lokasinya hanya berjarak ratusan meter dari jalan poros. Beruntung ada warga yang bersedia menemani untuk menunjukkan rumah tersebut. Sebab, kediaman Lewi Kona agak jauh dari jangkauan tetangga dan sedikit tertutup oleh rimbunnya pepohonan. Belum sempat panjang lebar bercengkrama, hujan rintik-rintik disertai kilat seolah-olah memotong percakapan. Sontak Lewi berlari mengambil cucian yang sudah nampak kering tepat di samping rumah. Ia pun memaksa untuk melihat kondisi di dalam rumahnya sembari "berteduh" dari guyuran hujan. Dinding rumah itu terbuat dari karung bekas milik perusahaan tambang nikel di Pomalaa, bagian sampingnya sudah hancur sedangkan atap yang terbuat dari rumbia tak bisa lagi diandalkan karena bocor yang cukup parah, sehingga mereka harus berperang melawan kedinginan ketika hujan dan angin kencang datang. Hanya ada dua kursi rusak dan satu meja yang menghiasi ruang tamu. Di dalamnya terdapat dua kamar, untuk masing-masing kamar harus dihuni hingga empat orang. Lantainya pun hanya beralaskan karung yang ditumpuk sehingga lebih tebal. Ironisnya, tak ada water closet (WC) untuk buang air besar (BAB). Jadi untuk BAB, mereka memilih alternatif yang lebih praktis dengan menyusuri sungai yang berjarak hanya beberapa meter saja dari rumahnya. "Begini kasian kondisinya, ini (runtuhan atap di atas kursi, red) lagi jatuh mi. Anak-anak juga takut kalau tinggal di dalam, apalagi jika hujan begini. Jangan sampai tiba-tiba atap rumah roboh. Biasa juga kalau hujan keras, terpaksa anak saya ke sekolah bermalam," cetusnya sembari memungut pakaian dan runtuhan atap yang berserakan. Rumah yang hampir roboh itu dihuni delapan jiwa. Mereka pun terkadang harus rela berhamparan di lantai. Tempat tinggal mereka tidak obah seperti rumah darurat di pengungsian. Bahkan rumah pengungsian pun agak lebih rapi dan kokoh dibandingkan kediaman keluarga ini. Jika saja angin berhembus kencang dan hujan badai, rumah ini sudah dapat dipastikan porak poranda, bersyukur saja angin tidak leluasa menghantam rumah ini, karena di sekitarnya terdapat pepohonan yang kokoh."Bahan-bahannya saya punya rumah ini dari sisa-sisa bongkaran (proyek pengerjaan rumah, red). Lihat (kayu, red) itu, kosong tengahnya itu, keropos semua," bebernya. Menurut Lewi, sudah delapan kali tim (ia enggan membeberkannya) datang mengambil gambar rumahnya. Tapi, hingga kini bantuan tak kunjung datang. Beragam alasan ia peroleh. Ujung-ujungnya ia harus menyapu dada menanti bantuan yang dijanjikan sejak enam tahun silam. "Sudah banyak yang datang foto saya punya rumah ini. Terakhir kalau saya tidak salah bulan empat (April 2017). Pernah ada dari kecamatan telepon saya, katanya akan ada bantuan saya dapat, pas saya tiba disana (kantor kecamatan, red) saya dibisik-bisik kalau bantuan yang saya dijanjikan belum ada. Alasannya, belum ada bantuan perbaikan rumah untuk warga Pesouha. Kemudian ada juga yang bilang kalau foto rumah saya sudah dimasukkan ke Dinas Sosial Kolaka untuk mendapat bantuan perbaikan rumah, setelah saya tanya teman ternyata tidak (diusulkan ke Dinsos Kolaka, red). Bingung juga saya kalau begini terus. Kita lihat sendiri mi ini kondisi rumah, sudah tidak layak sekali sebenarnya, tapi mau diapa sudah begini keadaannya," kisah pria kelahiran Tator 1972 ini. Sebenarnya ada keinginan untuk memperbaiki rumah yang dibangun di atas lokasi tanah, yang ia beli secara cicil sekitar Rp7 juta saat itu. Namun untuk biaya sekolah anak-anaknya saja terkadang tak cukup. Bahkan anaknya yang sudah duduk di bangku sekolah menengah kejuruan, sempat berhenti sekolah karena tidak memiliki biaya lagi. "Sekarang anak saya sudah sekolah kembali. Tapi tidak adakah yang gratis? Karena ada juga saya dengar yang sekolah gratis," ujarnya sembari tertawa. Sangat miris memang, di wilayah yang terkenal dengan hasil tambangnya ini, masih saja terdapat rumah yang hampir roboh itu. "Awalnya (ketika datang di kabupaten Kolaka, red) saya tinggal di Pelambua. Setelah itu saya pindah di lorong depan sana (Pesouha). Kemudian ada teman yang suruh agar saya membangun disini (rumah yang ditempati sekarang, red), akhirnya saya tinggal disini bersama keluarga. Kalau saya hitung-hitung, sudah 20 tahun lebih saya berada di Pomalaa," tandasnya. (***)
  • Bagikan

Exit mobile version