“Surat Sakti” Pemprov Sultra Legalkan Kegiatan PT WIL, Herman: BPMD-KTSP dan Dinas ESDM Abaikan Putusan PN Kolaka

  • Bagikan
KOLAKA POS, KOLAKA - Keberanian PT Waja Inti Lestari (WIL) mengelola, mengangkut dan menjual yang diduga keras sebagai barang bukti milik negara berupa Ore (tanah) di Babarina, Desa Muara Lapaopao Kecamatan Wolo Kabupaten Kolaka rupanya mendapat lampu hijau dari Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara. Hasil penelusuran Lembaga Demokrasi Rakyat (Lider) Sulawesi Tenggara menyebutkan, sejumlah “surat sakti” dijadikan dasar PT WIL untuk beraktifitas kembali berhasil diperoleh. Menurut Ketua Lider, Herman Syahruddin “surat sakti” dimiliki PT WIL untuk beraktifitas di kawasan hutan produksi terbatas (HPT) berasal dari Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sultra dan surat dari Badan Penanaman Modal Daerah (BPMD)-Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) . Surat dengan Nomor:269/BPMD-KTSP/X/2015 misalnya berisi tentang persetujuan penataan batas koordinat dan peta wilayah izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi PT Waja Inti Lestari (WIL). Surat tersebut ditanda-tangani langsung Kepala BPMD-KTSP Sultra Drs H Masmuddin, M.S1 tertanggal 19 Oktober 2015 atas nama Gubernur Sultra. “Dari surat BPMD-KTSP inilah, Dinas ESDM Sultra mengeluarkan surat bernomor: 540/1149 tanggal 20 Oktober 2015. Surat tersebut keluar sehari setelah BPMD-KTSP mengeluarkan surat ke PT WIL,”jelas Herman Syahruddin menanggapi peryataan Humas PT WIL Ridho Radjab Muki kepada wartawan di Kolaka, kemarin. Isi surat Dinas ESDM Sultra yang ditanda tangani pelaksana harian Kepala Dinas ESDM Sultra Ir Andi Asis, M.Si itu menurut Herman disebutkan kalau PT WIL sudah dapat melakukan kegiatan usaha pertambangan antara lain penambangan, pengangkutan, penjualan dan pengelolaan lingkungan hidup sesui IUP dimiliki PT WIL. Mendasari kedua “surat sakti” dimiliki PT WIL itu, kata Herman Bupati Kolaka H Ahmad Sjafei, SH, MH pernah bersurat kepada Gubernur Sultra mengenai pemindahan dan pengangkutan Ore eks milik PT WIL beserta perusahaan-perusahaan joint operation (JO)-nya di Desa Muara Lapaopao Kecamatan Wolo. Surat berkop garuda dengan Nomor: 543/1901/2015 tertanggal 21 September 2015 menjelaskan hal mendasar mengapa dirinya perlu bersurat ke gubernur Sultra. Menurut Sjafei seperti dikutip Herman, pemindahan ore nickel dimaksudkan untuk menghindari terjadinya pencemaran lingkungan. “Karena tumpukan ore nickel berada dibibir pantai yang berhadapan langsung dengan lokasi budidaya rumput laut dan empang masyarakat,”begitu isi surat Ahmad Sjafei seperti dikutip Herman. Herman menjelaskan, dokumen-dokumen itulah dijadikan senjata bagi PT WIL untuk kembali beraktifitas di lokasi titik koordinat SK Nomor 502 Tahun 2013 yang keseluruhan lahannya seluas 210,3 hektar yang dikembalikan kepada Kementerian Kehutanan RI sesuai putusan Pengadilan Negeri Kolaka Nomor:62/Pid.SUS/2014/PN.Kka. Beragam pertanyaan kemudian muncul atas keluarnya “surat-surat sakti” dimiliki PT WIL. Pertama, menurut Herman, terkait surat dikeluarkan Kepala BPMD-KTSP Sultra Drs H Masmuddin, M.Si Nomor:269/BPMD-KTSP/X/2015 apakah instansi tersebut punya legalitas mengeluarkan SK persetujuan penataan batas koordinat dan peta wilayah IUP operasi produksi PT WIL dan membatalkan SK 502 yang dianggap tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan yang diartikan Illegal. Itu artinya, kata Herman Surat Keputusan (SK) Nomor:351 Tahun 2010 yang ditanda tangani mantan Bupati Kolaka H Buhari Matta sebagai dasar IUP PT WIL kembali diaktifkan dan dijadikan rujukan, sementara SK tersebut pernah dinyatakan tidak berlaku alias dicabut pelaksana tugas (Plt) Bupati Kolaka H Amir Sahaka dengan mengeluarkan SK No:502 Tahun 2013 tanggal 26 Agustus 2013 tentang persetujuan penataan ulang batas koordinat dan peta wilayah izin usaha pertambangan operasi produksi PT WIL. “Salah satu point di SK tersebut secara tegas membatalkan lampiran I, II koordinat dan peta wilayah izin usaha pertambangan (IUP) operasi produksi PT Waja Inti Lestari Nomor:351 Tahun 2010 tanggal 12 April 2010. Kalau kondisinya sudah seperti itu, lanjut Herman secara otomatis SK 502 Tahun 2013 itu statusnya illegal. Dengan SK dikeluarkan Kepala BKPMD-PTSP Sultra berarti melegitimasi hasil penambangan dilakukan PT WIL hingga menjual ore nickel ke luar negeri (CHINA) sebanyak 11 kapal pada tahun 2013 juga illegal dan merupakan pidana pertambangan dan merugikan perekonomian Negara. Demikian pula tumpukan ore nickel dijual saat ini antar propinsi yang menggunakan kapal tongkang berada pada lokasi titik koordinat SK Nomor 502 Tahun 2013 terletak di Babarina Desa Muara Lapao-pao. “Jika SK Nomor 502 Tahun 2013 statusnya tidak sesuai undang-undanga alias Illegal menurut SK Kepala BKPMD- PTSP Sultra, berarti penambangan hingga penjualan puluhan kapal berkapasitas 50 ribu MT tahun 2013 beralaskan SK 502 tahun 2013 itu adalah indikasi suatu kejahatan massif dan harus diungkap,” tegas Herman. Selain itu, Kepala BPMD-KTSP Sultra tidak menganalisa dan Putusan Pengadilan Negeri Kolaka Nomor:62/Pid.SUS/2014/PN.KKa yang telah berkekuatan hukum tetap (In kracht van gewijsde), Disitu sangat jelas dan tegas menyatakan lahan pertambangan seluas 210,3 Ha (sesuai luasan keseluruhan lahan IUP PT WIL) dikembalikan kepada Kementerian Kehutanan Republik Indonesia, Barang Bukti potongan kayu dan Ore tanah hingga BaseCamp dirampas untuk dimusnahkan. Masih menurut Herman SK 502 tahun 2013 yang dinilai “Illegal” karena tidak sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana menurut SK Kepala BKPMD PTSP Sultra, berarti dengan adanya putusan Pengadilan Negeri Kolaka Nomor; 62/Pid.SUS/2014/PN.KKa telah berkekuatan hukum tetap, SK Kepala BKPMD PTSP Sultra nomor 264/BKPMD-PTSP/X/2015, Surat Kepala Dinas ESDM Sultra Nomor;540/1052 tanggal 2 Oktober 2015 terkait pertimbangan teknis serta Surat Kepala Dinas ESDM Sultra Nomor;540/1149 tanggal 20 Oktober 2015 perihal Kegiatan usaha pertambangan, diduga keras adanya suatu persekongkolan jahat karena mengesampingkan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Bagaimana dengan barang bukti (BB) berupa Ore, kayu dan lainnya. Herman menjelaskan, dengan membaca putusanPengadilan Negeri Kolaka nomor : 62/Pid.SUS/2014/PN.KKa dengan salah satu terdakwa Amir Baktiar bin Ucup Mudiyah di halaman 45, majelis hakim memberikan pertimbangan mengenai Barang Bukti (BB) kayu dan Ore (Tanah): “Menimbang, bahwa terhadap pembelaan penasehat hukum terdakwa tersebut majelis hakim berpendapat terhadap barang bukti tersebut merupakan sebagian yang dihadirkan penuntut umum dipersidangan dan merupakan sampel dari pohon yang ditebang dilokasi PT Emin Indonesia, serta ore yang diambil dilokasi PT Emin Indonesia, serta dipersidangan telah dibenarkan oleh saksi Hidayat dan Dandy Lesmana, karena itu terhadap pembelaan penasehat hukum terdakwa dalam poin ini dinyatakan tidak dapat diterima,”kutip Herman. Dengan pertimbangan Majelis Hakim tersebut, lanjutnya membuktikan bahwa tumpukan ore yang telah diangkut dan dijual antar propinsi diduga keras merupakan barang bukti dan hasil penambangan illegal pada penataan ulang titik koodinat SK 502 tahun 2013,” tegas Herman Syahruddin. Itu artinya, tumpukan ore nickel di Babarina Muara Lapaopao statusnya sudah menjadi milik negara. Kalaupun saat proses persidangan BB itu yang dihadirkan di persidangan hanya satu karung itu sebagai contoh atau sampel saja. “Mana mungkin jumlah ore nickel di Muara Lapoapao itu di bawah seluruhnya ke persidangan. Demikian pula tumpukan kayu akibat aktifitas pertambangan PT WIL dan sejumlah JO-nya berasal dari Hutan Produksi Terbatas (HPT) dihadirkan JPU ke pengadilan hanya beberapa potong, bukannya puluhan bahkan mungkin ribuan meter kubik,”tambahnya. Tapi kedua Barang Bukti itu menurut Herman sudah menjadi milik negara, sehingga kalau ada pihak lain, termaksud PT WIL ingin mengolah, mengangkut terlebih menjual harus mengikuti proses lelang terbuka oleh instansi terkait. Dari hasil lelang itu dananya masuk ke kas negara. “Sepengetahuan saya sebagai orang awam hukum seperti itu. Atau mungkin ada aturan baru dikeluarkan pemerintah terkait barang-barang bukti hasil kejahatan yang sudah berkekuatan hukum tetap diserahkan begitu saja. Terlebih diserahkan ke pihak yang telah divonis bersalah,” ujarnya. (ema)
  • Bagikan