Ada Mark Up di BSPS Petudua?

  • Bagikan
KOLAKAPOS, Kolaka--Pembangunan perumahan pada program Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Desa Petudua Kecamatan Tanggetada Kabupaten Kolaka tahun 2016 diduga kuat terjadi mark up (penggelembungan harga-red) pada sejumlah material bangunan yang didistribusikan kepada warga penerima bantuan. Sejumlah material bangunan seperti semen, seng, pasir dan kayu mengalami kenaikan harga dari harga yang diberikan oleh suplier/penyedia bahan. Hal tersebut diakui oleh pemilik Toko Fajar Mario yang merupakan suplier bahan/barang beralamat di Kelurahan Anaiwoi Kecamatan Tanggetada. Menurut Hj. Ros pemilik toko Fajar Mario bahwa harga material yang diberikan kepada pengelola BSPS Desa Petudua yang tak lain adalah mantan Kepala Desa Petua, Tunerjin adalah harga normal yang berlaku secara umum. Artinya, harga tersebut lebih rendah dibanding dengan harga material yang tercantum dalam rencana Anggaran dan biaya (RAB) yang digunakan pada program BSPS. Sebagai contoh kata Hj. Ros, untuk harga semen, dirinya memberi harga kepada pengelola sebesar Rp. 77 ribu per sak, sementara dalam RAB tercantum harga Rp. 86 ribu per sak. Selain semen, harga seng yang dijual oleh suplier juga tidak sesuai dengan harga yang ada dalam RAB yakni Rp. 7.500 per kaki (feet) sementara harga yang digunakan oleh pengelola sebesar Rp. 9.500 per kaki(feet). Selanjutnya harga pasir yang biasanya dijual oleh suplier seharga Rp.600 ribu per retase dijual kepada warga penerima sebesar Rp. 640 ribu per retase. Yang lebih memprihatinkan yakni material kayu bangunan yang seharusnya menggunakan kayu klas II ternyata sebagian bangunan menggunakan kayu yang sangat ringan dan rapuh. “Untuk material BSPS di Desa Petudua memang yang menunjuk kami sebagai supliernya adalah mantan Kepala Desa, Tunerjin. Adapun harga yang kami berikan memang sesuai dengan harga normal yang beda dengan RAB, sebab dia kan juga perlu mendapat keuntungan, apalagi dia kan juga pengelolanya,”terang Hj. Ros. Sebenarnya kata dia, dari awal pihaknya tak bersedia melayani pengadaan bahan BSPS ini, hanya saja Tunerjin saat menjadi kepala desa yang mendesak dirinya untuk menjadi suplier, jadi dirinyapun mencoba layaninya pengadaan bahan tersebut. “Yang menunjuk langsung kami sebagai penyedia bahan memang pak mantan, karena memang selama ini kami yang sering melayani pengadaan bahan bangunan di desa itu maka kamipun menerima pengadaan ini. Jadi kalau ada permintaan bahan, kami langsung mengantarnya ke lokasi, disana sudah ada pak mantan yang mengaturnya,”jelas Hj. Ros Sementara itu, mantan Kepala Desa Petudua, Tunerjin yang dikonfirmasi mengaku tidak mengetahui masalah harga yang ada dalam RAB, sebab kata dia yang mengetahui hal tersebut adalah tim dari kabupaten. “Terkait masalah harga di dalam RAB, saya tidak tahu hal itu, karena yang mengatahuinya adalah tim kabupaten. Mereka juga sudah survey sesuai dengan harga yang berlaku di kabupaten.Menyangkut tentang tingginya harga material yang tertuang dalam RAB, itu karena telah dihitung dengan besaran pajak yang dibayarkan oleh Toko penyedia bahan,”terang Tunerjin. Tunerjin juga mengakui bahwa dirinya mendapat komisi (upah) dari suplier berupa biaya operasional dilapangan saat mendistribusikan material ke rumah warga penerima. ”Kalau distribusi bahannya secara manual memang dari Toko yang ditunjuk. Namun saya hanya dapat komisi dari toko berupa biaya operasional saya di lapangan karena memang ada jasa mengantar material ke masyarakat. Jadi saya memang mengantar materialnya. Apalagi saya ada SK sebagai tim tehnis Kabupaten,”kata Tunerjin. Untuk diketahui, sekitar 30 unit rumah yang dibangun pada program BSPS di Desa Petudua sejatinya telah berakhir dan dapat dimanfaatkan oleh warga penerima bantuan sejak bulan desember tahun 2016 lalu. Sayangnya, bantuan yang anggarannya bersumber dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat tahun 2016 itu hanya sebagian saja yang telah dihuni oleh warga. Sementara selebihnya hanya berbentuk bangunan rumah yang hingga kini belum rampung dan tak bisa digunakan. Bahkan sebagian dari bangunan tersebut kini telah ditumbuhi dengan rumput ilalang. Dapat diduga, buruknya pengelolaan program BSPS di desa itu menjadi salah satu penyebab tak selesai dan mubasirnya ratusan juta rupiah anggaran negara yang digelontorkan dalam program ini. (cr3/b/hen)
  • Bagikan