Rusman dan Rajiun ‘Gencatan Senjata’

  • Bagikan
Bupati Muna Rusman Emba (Kanan), dan Bupati Mubar Rajiun Tumada (Kiri), Saat Melakukan Pertemuan yang Diinisiasi Polda Sultra. Foto: Kadamu/Kolaka Pos

KOLAKAPOS, Kendari -- Polemik baliho Mai Te Wuna, Amaimo Paada Inie, berlanjut. Kemarin (2/9), bupati Muna Barat, Rajiun Tumada dan bupati Muna, Rusman Emba dipertemukan di Mako Brimob Sultra untuk membahasnya. Keduanya bersepakat untuk gencatan senjata.

Pertemuan yang diinisiasi Polda Sultra, berlangsung sekitar tiga jam mulai pukul 09.00 hingga 12.00. Untuk meredakan polemik, keduanya akan meminta pendapat ahli bahasa untuk membedah kata Mai Te Wuna yang disandingkan dengan kata Amaimo Paada Inie. Sembari menunggu hal tersebut Rajiun berjanji tidak bersosialisasi politik lagi di Muna, sedangkan Rusman akan membiarkan baliho yang belum sempat diturunkan.

Rajiun menilai, kata Mai Te Wuna sebenarnya dilahirkan untuk mengajak wisatawan dan investor ke Muna. Tidak ada pelarangan bagi siapapun untuk menggunakan kalimat tersebut. Jika ahli bahasa mengatakan kalimat tersebut orisinil sebagai tagline sehingga tidak dapat digunakan sembarangan, ia siap untuk menanggalkan baliho. "Tapi ketika itu bukan persoalan dan bisa digunakan siapa saja, maka harus diterima dengan lapang dada. Itu kesepakatan pertama," urainya.

Menurut bupati Muna, Rusman Emba, kalimat Mai Te Wuna yang berarti ajakan ke Muna, mengandung makna yang dalam, tidak dapat disandingkan dengan kalimat Amaimo Paada Inie yang bermakna politis seseorang akan datang ke Muna. Penyandingan kedua kalimat itu, dianggap dapat memicu konflik ditengah-tengah warga Muna. "Sebenarnya balihonya itu tidak menjadi masalah, hanya Tagline Mai Te Wuna dan Amaimo Paada inie, karena ini bisa terjadi konflik," ucapnya.

Sebelum menurunkan baliho bergambar Rajiun tersebut, Pemkab Muna kata Rusman, telah melayangkan somasi kepada Rajiun, namun tidak diindahkan. "Kami sudah beritikad baik, namun tak diindahkan, makanya maka kami tertibkan baliho yang bisa saja menimbulkan konflik," papar mantan anggota DPD RI itu.

Sempat memicu polemik di Muna, keduanya meyakini Muna dan Mubar hanya terpisah dari sisi administrasi pemerintahan. Dari sisi adat, budaya dan bahasa, dua kabupaten itu adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan sebagai masyarakat suku Muna yang lahir dari empat wilayah yakni Katobu, Lawa, Kabawo dan Tongkuno, yang dalam istilah adatnya disebut Fatogheorano.

Pertemuan tersebut terang keduanya, merupakan langkah awal agar tidak ada konflik antara masyarakat di Muna. "Saya apresiasi langkah yang dilakukan oleh Polda Sultra melalui Dansat Brimob, dalam menginisiasi pertemuan ini, sehingga masalah tidak berlarut-larut," tutupnya. (p2)

  • Bagikan