Dilibas Sawit, Kakao Harus Berjaya

  • Bagikan

Di Indonesia, dominasi perkebunan kelapa sawit telah membawa dampak besar pada sektor pertanian. Tak sedikit komoditi unggulan pertanian perlahan "mandul". Tidak produktif lagi. Lahannya tergeser oleh sawit. 

Sulawesi Tenggara pernah berjaya sebagai daerah penghasil kakao. Namun, fenomena kehadiran kelapa sawit menimbulkan dampak luar biasa terhadap komoditi kakao. Tak hanya menggeser lahannya, sebagian besar petaninya pun beralih menjadi petani sawit. Paling tidak sebagai pekerja pada perusahaan perkebunan sawit. Kondisi itu terjadi karena kelapa sawit dianggap lebih menguntungkan secara ekonomi. Hasilnya lebih cepat dan lebih tinggi. Kelapa sawit tak hanya berdampak pada perubahan produksi kakao tapi juga keberagaman tanaman dan keseimbangan ekosistem.

Berdasar data BPS (Sulawesi Tenggara dalam angka 2024) menunjukkan Sulawesi Tenggara memiliki luas areal kelapa sawit yang signifikan. Diantaranya: Kolaka memiliki luas areal kelapa sawit terbesar di Sulawesi Tenggara, yaitu sebesar 5.668,52 hektar, meningkat dari 5.317,52 hektar pada tahun 2022. Ini menunjukkan peningkatan investasi dan penanaman kelapa sawit di daerah ini. Konawe Selatan: Kabupaten ini juga menunjukkan peningkatan luas areal kelapa sawit dari 2.393 hektar pada tahun 2022 menjadi 2.705,11 hektar pada tahun 2023. Peningkatan ini mengindikasikan bahwa kelapa sawit menjadi komoditas penting bagi ekonomi lokal; Konawe: Konawe memiliki luas areal kelapa sawit sebesar 2.285,07 hektar pada tahun 2023, meningkat dari 2.062,00 hektar pada tahun 2022. Peningkatan ini menunjukkan tren yang sama dengan kabupaten lain dalam pengembangan kelapa sawit.

Sebaliknya, luas areal kakao di beberapa kabupaten mengalami perubahan yang bervariasi, beberapa di antaranya menurun: Kolaka: Kolaka memiliki luas areal kakao sebesar 24.996,08 hektar pada tahun 2023, turun sedikit dari 25.591,08 hektar pada tahun 2022. Penurunan ini mungkin disebabkan oleh peralihan lahan ke tanaman lain seperti kelapa sawit. Konawe Selatan: Kabupaten ini mencatat luas areal kakao sebesar 18.858,90 hektar pada tahun 2023, naik dari 18.411,20 hektar pada tahun 2022. Peningkatan ini menunjukkan bahwa kakao masih menjadi komoditas penting di wilayah ini. Konawe Utara: Konawe Utara memiliki luas areal kakao sebesar 3.973,21 hektar pada tahun 2023, sedikit meningkat dari 3.916,00 hektar pada tahun 2022. Peningkatan kecil ini menunjukkan upaya untuk mempertahankan produksi kakao di daerah ini.

Perubahan luas areal kelapa sawit dan kakao di berbagai kabupaten menunjukkan adanya dinamika ekonomi yang dipengaruhi oleh permintaan pasar dan kebijakan lokal. Dominasi kelapa sawit yang terus meningkat di beberapa kabupaten mungkin disebabkan oleh keuntungan ekonomi jangka pendek yang lebih tinggi dibandingkan dengan kakao. Namun, hal ini juga menimbulkan tantangan terkait keberlanjutan lingkungan dan diversifikasi ekonomi. 

Penelitian menyoroti pentingnya dukungan kebijakan dan praktik pertanian berkelanjutan untuk memastikan keberlanjutan produksi kakao. Di Sultra, peralihan lahan dari kakao ke kelapa sawit juga menunjukkan perlunya intervensi pemerintah untuk mendukung petani kakao dan mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah.

Peningkatan luas areal kelapa sawit di berbagai kabupaten menunjukkan potensi ekonomi yang tinggi, namun juga membawa tantangan lingkungan yang signifikan. Sebaliknya, meskipun luas areal kakao menunjukkan beberapa penurunan, tetap ada upaya untuk mempertahankan dan meningkatkan produksinya. Dukungan kebijakan yang kuat dan praktik pertanian berkelanjutan sangat penting untuk memastikan bahwa kedua komoditas ini dapat berkembang secara berkelanjutan di Sulawesi Tenggara.

Sulawesi Tenggara, fenomena peralihan lahan dari kakao ke kelapa sawit juga terlihat jelas. Banyak petani yang mengeluhkan rendahnya harga jual kakao dan ketidakpastian pasar, sehingga mereka memilih untuk beralih ke kelapa sawit. Namun, transisi ini tidak berjalan mulus. Petani menghadapi berbagai tantangan, termasuk modal yang besar untuk memulai perkebunan kelapa sawit dan dampak lingkungan yang semakin terasa. 

Solusi untuk Mengembalikan Kejayaan Kakao dan Mempertahankan Kejayaan Sawit di Sulawesi Tenggara

Setelah dilibas sawot, kakao harus kembali berjaya. Untuk mengembalikan kejayaan kakao di Sulawesi Tenggara, pemerintah perlu memberikan dukungan kebijakan yang kuat, seperti subsidi pupuk, penyediaan bibit unggul, dan program pelatihan bagi petani. Stabilitas harga kakao juga penting untuk menarik minat petani kembali menanam kakao. Selain itu, penerapan teknologi pertanian modern dan praktik pertanian berkelanjutan seperti agroforestri akan membantu meningkatkan produktivitas dan kualitas kakao. Pengembangan industri hilir dengan membangun pabrik pengolahan lokal serta pemasaran yang efektif juga dapat meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani.

Sementara itu, untuk mempertahankan kejayaan kelapa sawit, diperlukan praktik pertanian yang berkelanjutan dan ramah lingkungan. Mendorong petani untuk mendapatkan sertifikasi RSPO dan mengembangkan sistem pengelolaan limbah yang efisien akan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Diversifikasi produk turunan sawit seperti biodiesel dan oleokimia, serta integrasi kelapa sawit dengan tanaman lain, akan meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani. Peningkatan infrastruktur dan akses pasar global melalui perjanjian perdagangan juga penting untuk memperluas pasar sawit.

Kolaborasi antara pemerintah, petani, perusahaan, dan lembaga penelitian sangat penting untuk mencapai tujuan ini. Dukungan kebijakan yang kuat, peningkatan produktivitas dan kualitas, serta adopsi praktik pertanian berkelanjutan akan memastikan bahwa kakao dan sawit dapat berkembang secara bersamaan, memberikan manfaat ekonomi, dan menjaga keseimbangan lingkungan di Sulawesi Tenggara.

Dengan langkah-langkah konkret dan kolaborasi berbagai pihak, kejayaan kakao di Indonesia bisa kembali diraih. Pemerintah, perusahaan, dan petani harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kakao menjadi komoditas yang menguntungkan dan berkelanjutan. Ini bukan hanya tentang persaingan antara dua tanaman, tetapi juga tentang membangun masa depan yang lebih seimbang dan berkelanjutan bagi sektor pertanian Indonesia.([email protected].)

  • Bagikan