Disrupsi digital telah mengubah peradaban umat manusia. Digitalisasi kini merambah semua lini kehidupan, tak terkecuali sektor pertanian. Pemerintah dan pelaku industri berlomba menghadirkan aplikasi pertanian pintar, pasar daring hasil tani, hingga teknologi sensor dan drone untuk memantau pertumbuhan tanaman. Petani harus bertranformasi pada sistem pertanian modern. Mereka harus melek teknologi. Transformasi digital menjadi pilihan wajib dalam mewujudkan pertanian modern.
Narasi pertanian 4.0 menjadi simbol harapan baru. Seolah masalah klasik seperti gagal panen, harga tak menentu, dan keterbatasan akses informasi bisa segera diselesaikan lewat sentuhan teknologi. Kampanye “petani cerdas” pun ramai digaungkan dalam berbagai forum dan media.
Namun kenyataan di lapangan seringkali tidak semanis narasi di layar presentasi. Di banyak wilayah pedesaan, petani masih berkutat dengan cuaca tak menentu, pupuk mahal, dan informasi pasar yang terbatas. Jangankan teknologi drone, sinyal internet saja sering tak stabil. Banyak program digitalisasi gagal karena tidak mempertimbangkan literasi digital petani, ketersediaan infrastruktur, dan dukungan jangka panjang. Akibatnya, sebagian besar petani tetap bergantung pada metode lama, bahkan merasa asing dengan perubahan yang digembar-gemborkan.
Kondisi ini menimbulkan risiko serius: munculnya ketimpangan digital di sektor pertanian. Petani yang memiliki akses, keterampilan, dan dukungan bisa melaju cepat dengan bantuan teknolog, sementara yang lain tertinggal jauh dan makin terpinggirkan. Jika tidak diantisipasi, digitalisasi justru bisa memperbesar kesenjangan antar petani, antar wilayah, bahkan antar generasi. Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah pertanian digital ini benar-benar berpihak pada petani? Atau hanya pada sebagian kecil yang mampu mengikuti lajunya?
Ketimpangan Teknologi dan Realitas Pedesaan
Di tengah gemuruh inovasi digital, suara petani dari pelosok desa sering kali tenggelam. Mereka bukan tak ingin berubah, tapi jalan menuju perubahan itu penuh rintangan. Teknologi yang digadang-gadang mampu menjadi solusi justru terasa asing, bahkan tak terjangkau. Di beberapa tempat, gawai pintar hanya digunakan sebatas telepon dan pesan singkat, bukan alat bantu untuk analisis cuaca atau pemasaran hasil panen. Aplikasi pertanian modern tak banyak berguna bila sinyal tak hadir dan pelatihan tak menyentuh.
Statistik boleh saja menunjukkan kenaikan jumlah pengguna aplikasi pertanian, tetapi kenyataan di sawah belum selalu berubah. Petani masih menebak waktu tanam berdasarkan tanda alam, bukan proyeksi digital. Mereka mencatat pengeluaran pada sobekan kertas, bukan spreadsheet atau aplikasi keuangan. Ketika sebagian kecil menikmati kemudahan teknologi, mayoritas masih berkutat dengan alat usang dan informasi terbatas. Di sinilah kita perlu merenung: apakah teknologi sedang mendekatkan kita pada keadilan agraria, atau justru melahirkan generasi petani baru yang semakin terasing dari lahannya sendiri?
Kegagalan Sistemik dalam Digitalisasi Pertanian
Bukan petani yang tak mau berubah. Justru sebagian besar dari mereka sangat terbuka terhadap perubahan, selama perubahan itu benar-benar berpijak pada realitas mereka. Namun sayangnya, banyak program digitalisasi pertanian hanya menjadi simbol modernisasi yang terburu-buru. Peluncuran aplikasi dilakukan dengan gegap gempita, tapi nyaris tanpa tindak lanjut yang nyata. Literasi digital petani jarang disentuh secara sistematis, akses perangkat teknologi nyaris tak disediakan, dan pelatihan yang dilakukan seringkali bersifat satu arah, tanpa dialog yang membumi. Di banyak tempat, alih-alih memberdayakan, program ini justru meninggalkan petani dengan perasaan bingung dan ditinggalkan.
Ketika sistem terlalu fokus pada pencapaian indikator digitalisasi, namun mengabaikan kondisi riil di desa, maka yang terjadi adalah lahirnya ketimpangan baru. Petani yang sudah memiliki akses dan koneksi akan melaju cepat, sementara yang lain tertinggal semakin jauh. Digitalisasi yang tidak inklusif ini bukan hanya gagal menyelesaikan masalah lama, tetapi juga menciptakan jurang baru: antara petani digital yang terhubung dengan pasar global dan petani tradisional yang bahkan belum tersentuh pelatihan. Tanpa keberpihakan dan keberlanjutan, mimpi tentang pertanian modern hanya akan menjadi narasi kosong. Terlihat canggih di permukaan, tapi rapuh di akar rumput.
Apa langkah yang dilakukan?
Kunci dari transformasi digital di sektor pertanian bukan sekadar pada canggihnya aplikasi atau alat, melainkan pada bagaimana pendekatan teknologi itu dibawa masuk ke ruang-ruang hidup petani. Inovasi teknologi tanpa inovasi pendekatan hanya akan menghasilkan kesenjangan. Maka sudah saatnya kita berpindah dari pola “berikan alat lalu tinggalkan”, menjadi pendekatan “perkenalkan, dampingi, dan tumbuhkan”. Teknologi harus menjadi alat bantu, bukan beban tambahan. Dibutuhkan perubahan paradigma dari yang semula berbasis proyek, menjadi gerakan yang berkelanjutan dan berpihak.
Langkah konkret harus dimulai dari pembangunan ekosistem kolaboratif yang inklusif. Pemerintah, sektor swasta, perguruan tinggi, dan komunitas petani harus duduk bersama, bukan dalam posisi atasan dan bawahan, tapi sebagai mitra sejajar. Pemerintah memegang peran strategis dalam regulasi dan insentif, swasta membawa inovasi dan sumber daya, kampus menyuplai pengetahuan dan riset terapan, sementara petani menyumbang pengalaman dan realitas. Jika kolaborasi ini tidak diletakkan di atas prinsip kesetaraan dan saling percaya, maka program sebesar apapun akan gagal membumi.
Infrastruktur digital seperti jaringan internet yang stabil dan akses terhadap perangkat menjadi syarat mutlak. Namun lebih dari itu, kapasitas petani untuk menggunakan teknologi tersebut secara produktif juga harus dibangun. Pelatihan tidak bisa lagi dilakukan secara seragam dan formalistik; ia harus berbasis kebutuhan lokal, menggunakan bahasa yang dimengerti petani, dan melibatkan pendamping yang sabar dan mengerti konteks sosial-budaya desa. Kita tidak bisa berharap perubahan besar bila investasi hanya difokuskan pada alat, bukan pada manusianya.
Generasi muda desa memiliki potensi besar sebagai jembatan antara dunia digital dan pertanian tradisional. Sayangnya, banyak dari mereka meninggalkan desa karena sektor pertanian dianggap tidak menjanjikan. Oleh karena itu, negara dan masyarakat perlu menciptakan ruang, insentif, dan penghargaan bagi petani muda untuk kembali ke sektor ini sebagai agen perubahan. Program inkubasi bisnis pertanian, fasilitasi komunitas digital petani muda, dan promosi peran mereka dalam media bisa menjadi strategi untuk memperkuat regenerasi tani sekaligus mempercepat adopsi teknologi yang adaptif dan berkelanjutan.