Koperasi bukanlah barang baru dalam sejarah ekonomi Indonesia. Sejak era kemerdekaan, koperasi telah menjadi simbol perlawanan ekonomi rakyat terhadap ketimpangan dan ketergantungan pada sistem kapitalis kolonial. Tokoh bangsa seperti Bung Hatta menjadikan koperasi sebagai jalan tengah antara ekonomi pasar dan ekonomi negara, menempatkan rakyat sebagai pelaku utama, bukan hanya objek pembangunan. Namun, perjalanan koperasi di Indonesia tak selalu mulus. Banyak yang mati suri, hanya formalitas administrasi tanpa jiwa partisipasi. Koperasi kehilangan rohnya ketika diseret dalam praktik birokratis dan manipulasi kekuasaan. Karena itu, ketika pemerintah mencanangkan program besar bernama Koperasi Merah Putih, publik menaruh harapan sekaligus kegelisahan: akankah ini menjadi kebangkitan nyata atau sekadar pengulangan masa lalu?
Koperasi Merah Putih merupakan program nasional yang menargetkan pembentukan 80.000 koperasi baru untuk seluruh desa dan kelurahan di Indonesia. Di tengah tantangan besar seperti ketimpangan ekonomi, urbanisasi yang tak terkendali, serta kemiskinan struktural yang mengakar, program ini hadir bak angin segar. Bukan hanya untuk membentuk kelembagaan ekonomi desa, tapi juga untuk membangun kembali etos gotong royong dan semangat kemandirian yang lama terkikis. Ini bukan sekadar proyek teknokratik yang berhenti pada angka output, melainkan gerakan sosial-ekonomi. Jika dikelola dengan benar, bisa menjadi lokomotif baru pemberdayaan desa. Ia membawa janji besar: menempatkan desa sebagai poros pembangunan ekonomi nasional—bukan hanya sebagai penerima bantuan, tetapi sebagai pelaku utama transformasi.
Minggu, 25 Mei 2025, Wakil Menteri Desa dan Pembangunan Daerah Tertinggal (Wamendes PDT) Ahmad Riza Patria melakukan kunjungan kerja ke Kota Kendari, Sulawesi Tenggara, dalam rangka meninjau langsung pelaksanaan program Koperasi Merah Putih. Kunjungan ini bertujuan untuk memastikan sejauh mana pemerintah setempat menjalankan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2025 terkait percepatan pembentukan Koperasi Kelurahan/Desa Merah Putih. Dalam kunjungan tersebut, Wamendes menyampaikan apresiasi terhadap langkah-langkah konkret yang telah dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mendorong partisipasi masyarakat dan mempercepat pendirian koperasi di tingkat akar rumput. Ini menjadi sinyal penting bahwa negara hadir untuk mengawal langsung implementasi di lapangan, bukan sekadar berhenti pada tataran kebijakan pusat. Demikian pula Gubernur Sultra, Andi Sumangerukka menegaskan komitmennya dalam mempercepat pembentukan Koperasi Merah Putih di Sulawesi Tenggara. Dari total 2.285 desa dan kelurahan di provinsi tersebut, sekitar 1.557 telah menyelesaikan musyawarah desa dan kelurahan khusus untuk pembentukan koperasi. Beliau optimistis seluruh desa dan kelurahan akan menyelesaikan tahapan ini sesuai target pada 31 Mei 2025.
Namun pertanyaan kritis yang tak bisa dihindari adalah: apakah Koperasi Merah Putih akan menjadi koperasi yang benar-benar hidup, atau justru hanya sebatas papan nama dan simbol administratif semata?
Sejarah koperasi di Indonesia telah memberi pelajaran berharga. Banyak koperasi yang didirikan secara masif namun gagal tumbuh karena minim partisipasi anggota dan terlalu tersentralisasi pada birokrasi. Alih-alih menjadi wadah pemberdayaan ekonomi rakyat, koperasi kerap berubah menjadi alat politik sesaat atau proyek pencitraan instansi. Dalam konteks ini, semangat partisipasi menjadi penentu utama keberlanjutan. Koperasi yang bertahan dan memberi manfaat nyata selalu dibangun dari bawah, oleh orang-orang yang memiliki kepentingan dan keterlibatan langsung terhadap keberlangsungan usahanya.
Karena itu, Koperasi Merah Putih tidak boleh menjadi proyek elite atau hanya milik segelintir tokoh desa. Ia harus dirancang sebagai ruang terbuka bagi seluruh warga desa untuk terlibat aktif, baik dalam forum musyawarah, pengambilan keputusan, hingga pengelolaan unit usaha secara kolektif. Strategi inklusif menjadi kunci agar koperasi ini benar-benar merepresentasikan kepentingan bersama, bukan kepentingan pribadi. Petani, nelayan, ibu rumah tangga, pemuda desa, kelompok rentan—semua harus merasa memiliki dan dilibatkan sejak awal. Bukan hanya dalam struktur formal, tapi juga dalam praktik-praktik harian yang membentuk solidaritas ekonomi. Dengan demikian, koperasi bisa tumbuh sebagai ekosistem yang menyatukan kekuatan lokal untuk mencapai kesejahteraan bersama.
Strategi inklusif berarti memberi ruang bagi yang paling lemah sekalipun untuk tumbuh bersama. Koperasi Merah Putih harus menjadi ruang yang aman dan produktif bagi kelompok-kelompok kecil—petani gurem, perempuan kepala keluarga, pemuda desa tanpa lahan, hingga penyandang disabilitas—untuk tidak hanya menjadi penerima manfaat, tetapi juga menjadi penggerak utama. Dalam konteks pembangunan desa, inklusi bukan sekadar jargon, melainkan keberanian untuk menempatkan yang kecil sebagai bagian dari solusi, bukan beban pembangunan. Di sinilah letak kekuatan koperasi: ia tumbuh karena partisipasi, bukan karena instruksi.
Lebih dari sekadar bantuan modal, koperasi harus hadir dengan pendekatan yang menyeluruh: pelatihan keterampilan, pendampingan usaha, penguatan manajemen, hingga kemudahan akses terhadap pasar dan logistik. Program pelatihan tidak bisa seragam, tetapi harus menyesuaikan dengan potensi dan karakteristik masing-masing desa. Pendampingan juga bukan tugas seremonial, melainkan proses panjang yang membutuhkan empati, kesabaran, dan kehadiran yang konsisten. Jika koperasi mampu menjembatani kesenjangan keterampilan dan informasi antara desa dan pasar, maka ia akan menjadi alat distribusi keadilan ekonomi yang nyata, bukan hanya slogan.
Ketika koperasi dibangun dari bawah melalui pendekatan partisipatif (bottom-up), ia tidak hanya menjadi lembaga ekonomi, tetapi juga lokomotif transformasi sosial. Koperasi dapat menjadi agregator hasil pertanian dan produk lokal, sehingga petani tidak lagi tergantung pada tengkulak yang kerap mempermainkan harga. Ia juga dapat membuka peluang kerja produktif bagi generasi muda desa yang selama ini tertarik meninggalkan kampung halamannya. Dengan digitalisasi dan jejaring kemitraan yang tepat, koperasi bahkan bisa menjadi jembatan antara ekonomi lokal dan pasar nasional, bahkan global. Inilah bentuk kemandirian yang sesungguhnya, bukan hanya mampu berdiri di kaki sendiri, tetapi juga berjalan bersama, maju bersama.
Koperasi Merah Putih harus dibangun di atas dua fondasi utama: keadilan sosial dan keberlanjutan. Artinya, koperasi ini tidak boleh hanya menjadi alat distribusi bantuan jangka pendek, tetapi harus mampu menciptakan ekosistem ekonomi yang adil, tahan lama, dan berpihak pada masyarakat kecil. Pemerintah, baik pusat maupun daerah harus menyelaraskan kebijakan secara serius, mulai dari aspek pendanaan yang transparan dan tepat sasaran, regulasi yang adaptif terhadap dinamika lokal, hingga mekanisme pengawasan yang tidak represif namun mendorong akuntabilitas. Tanpa sinergi ini, koperasi bisa terjebak dalam tumpang tindih kebijakan dan menjadi beban baru, bukan solusi.
Namun lebih dari itu, tantangan terbesar adalah membangun kepercayaan publik. Masyarakat perlu diyakinkan bahwa Koperasi Merah Putih bukan sekadar instrumen kekuasaan politik atau proyek formalitas, melainkan ruang kolaboratif untuk memperkuat daya hidup ekonomi desa. Di sinilah peran para aktor non-pemerintah menjadi sangat penting. Perguruan tinggi dapat mengambil bagian dalam riset dan pelatihan, LSM dapat hadir sebagai pendamping kritis yang menjaga keberpihakan pada masyarakat, dan tokoh adat maupun agama bisa menjadi penguat legitimasi sosial di tingkat lokal. Dengan pendekatan lintas aktor dan lintas sektor ini, koperasi tidak hanya akan berpijak di bumi, tapi juga berakar kuat dalam kesadaran kolektif warga desa.
Sudah saatnya desa tidak hanya menjadi objek pembangunan, tapi aktor utama kesejahteraan nasional. Koperasi Merah Putih, bila dikelola secara inklusif dan partisipatif, bisa menjadi gerakan ekonomi kerakyatan paling transformatif abad ini. Mari kita kawal bersama, bukan untuk sekadar membentuk koperasi, tapi untuk membentuk masa depan Indonesia dari desa, oleh desa, dan untuk desa. ([email protected].)