Industri pertambangan di Indonesia terus menunjukkan geliatnya sebagai penopang utama ekonomi nasional. Dari pusat kekuasaan hingga pelosok desa, hasil bumi seperti nikel, batu bara, dan emas mengalir deras menopang devisa negara dan memikat investasi global. Namun, di balik kemilau kekayaan itu, masyarakat yang hidup di sekitar kawasan tambang masih berkutat dengan realitas yang kontras: kerusakan lingkungan, ancaman kesehatan, konflik sosial horizontal maupun vertikal, serta ketimpangan kesejahteraan yang mencolok. Ironisnya, perusahaan-perusahaan tambang yang secara hukum diwajibkan melaksanakan program Corporate Social Responsibility (CSR) dan menyusun Rencana Induk Pemberdayaan Masyarakat (RIPPM) justru seringkali menyajikan program yang dangkal dan seremonial. Bantuan berupa infrastruktur fisik, pelatihan sekali waktu, atau distribusi sembako, tidak mampu menjawab persoalan mendasar masyarakat, apalagi membentuk ketahanan sosial-ekonomi yang berkelanjutan.
Di Sulawesi Tenggara, fenomena ini tampak begitu nyata. Sebagai salah satu daerah penghasil nikel terbesar di Indonesia, provinsi ini menjadi magnet bagi investor pertambangan, terutama di wilayah Konawe, Konawe Utara, Kolaka, dan Morowali (yang sebagian masuk administratif Sulawesi Tengah). Namun, ketimpangan terlihat jelas: di satu sisi ada pertumbuhan ekonomi daerah yang meningkat, di sisi lain ada desa-desa yang terisolasi dari akses pendidikan, layanan kesehatan, dan sumber penghidupan layak akibat degradasi lahan dan rusaknya ekosistem pesisir. Masyarakat adat dan petani lokal seringkali kehilangan lahan garapan tanpa proses konsultasi yang adil, sementara program CSR dan RIPPM yang dijanjikan kerap tidak sesuai dengan kebutuhan warga. Di beberapa wilayah, forum musyawarah hanya menjadi formalitas untuk melegitimasi program perusahaan, bukan arena dialog sejati antara rakyat dan pemegang modal. Ketika aspirasi masyarakat hanya dijadikan pelengkap dokumen, bukan sebagai dasar kebijakan, maka ketimpangan akan terus melebar.
Dalam konteks ini, CSR dan RIPPM seharusnya tidak hanya menjadi instrumen pelengkap izin operasi, melainkan menjadi napas etis dari keberadaan perusahaan. CSR yang sejati bukan sekadar tanggung jawab hukum, tetapi wujud dari keberpihakan dan empati korporasi terhadap kehidupan masyarakat. RIPPM, yang mestinya menjadi panduan strategis pemberdayaan masyarakat tambang, justru sering diposisikan sebagai dokumen administratif tanpa semangat transformatif. Padahal, di era pembangunan berkelanjutan, masyarakat tidak cukup hanya "dibantu", mereka harus "berdaya". Ketahanan komunitas hanya akan tumbuh jika warga diberi ruang, kesempatan, dan kepercayaan untuk menentukan masa depannya sendiri.
Sudah saatnya negara, korporasi, dan masyarakat sipil berdiri pada pijakan yang sama: menjadikan CSR dan RIPPM sebagai alat keberlanjutan sosial, bukan sekadar kewajiban legalitas. Pemerintah daerah harus tegas mengawasi, mengevaluasi, dan menindak program CSR yang hanya bersifat kosmetik. Perusahaan harus berpikir jangka panjang, menanamkan nilai-nilai kolaboratif dan partisipatif dalam menyusun RIPPM. Sementara itu, masyarakat harus dilibatkan sejak perencanaan, bukan hanya menjadi penerima manfaat. Jika praktik CSR dan RIPPM terus dibiarkan berjalan tanpa akuntabilitas dan integritas, maka mimpi tentang kesejahteraan masyarakat tambang akan tetap menjadi fatamorgana.
Reformulasi Program dan Audit Sosial
Solusi nyata untuk menjawab ketimpangan akibat aktivitas pertambangan harus dimulai dari pembenahan mendasar terhadap model CSR dan RIPPM. Alih-alih menyusun program secara sepihak, perusahaan tambang perlu mengadopsi pendekatan berbasis kebutuhan nyata masyarakat yang didukung oleh data empiris, pemetaan risiko sosial, dan analisis kerentanan komunitas lokal. Pemerintah daerah memegang peran penting dalam menegakkan kewajiban audit independen terhadap dampak sosial-ekonomi setiap program CSR secara berkala. Audit ini harus mencakup evaluasi terhadap perubahan kesejahteraan, pengurangan ketimpangan, dan pertumbuhan kapasitas masyarakat. Transparansi laporan dan akses publik terhadap hasil evaluasi menjadi kunci untuk membangun kepercayaan.
Untuk menjamin kualitas dan keberlanjutan program, perguruan tinggi dan lembaga riset lokal dapat dioptimalkan sebagai mitra strategis. Mereka berperan tidak hanya dalam melakukan kajian dampak, tetapi juga dalam mendesain modul pelatihan, pendampingan usaha mikro, serta penguatan kelembagaan masyarakat desa. Melibatkan akademisi juga membuka ruang inovasi berbasis bukti (evidence-based policy) yang lebih adaptif terhadap dinamika sosial dan lingkungan. Di sisi lain, lembaga swadaya masyarakat (LSM) dan tokoh adat juga harus diberi ruang sebagai penjaga nilai-nilai lokal dan penghubung antara suara masyarakat dan perusahaan. Dengan begitu, program CSR dan RIPPM tidak lagi menjadi proyek sepihak, tetapi wujud partisipasi kolektif.
,
Keberhasilan implementasi CSR dan RIPPM sangat bergantung pada kekuatan kolaborasi antar pemangku kepentingan. Untuk itu, penting dibangun multi-stakeholder forum di tingkat desa dan kecamatan sebagai wadah komunikasi, koordinasi, dan pengambilan keputusan bersama. Forum ini harus bersifat inklusif, melibatkan perwakilan masyarakat lokal (termasuk kelompok rentan seperti perempuan dan pemuda), tokoh adat, perwakilan perusahaan, pejabat pemerintah daerah, akademisi, serta LSM yang memiliki rekam jejak pendampingan komunitas. Kehadiran forum semacam ini akan memperkuat fungsi kontrol sosial terhadap program CSR dan PPM, sekaligus mendorong terciptanya konsensus yang lebih adil dalam menyusun rencana pembangunan lokal. Dengan sistem dialog reguler, semua pihak dapat berbagi informasi, mengevaluasi capaian, dan merancang solusi bersama yang adaptif terhadap dinamika di lapangan.
Lebih dari sekadar forum musyawarah, kolaborasi lintas pihak ini berfungsi menciptakan rasa memiliki terhadap program yang dijalankan. Ketika masyarakat merasa didengar dan dilibatkan dalam setiap tahapan, mulai dari identifikasi kebutuhan, penyusunan program, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi—maka mereka akan lebih proaktif menjaga keberlanjutan hasil pembangunan. Dalam jangka panjang, kolaborasi yang sehat ini akan memperkuat ketahanan sosial masyarakat desa tambang: mereka tidak lagi bergantung sepenuhnya pada bantuan korporasi, tetapi mampu membangun jejaring, mengelola sumber daya, dan menyuarakan haknya secara kolektif. Kolaborasi multi-pihak juga membuka peluang lahirnya inovasi lokal—ide-ide kreatif yang muncul dari masyarakat sendiri dan diperkuat oleh kapasitas teknis mitra lain. Inilah yang menjadikan CSR dan RIPPM bukan lagi sekadar kewajiban legal, tetapi katalisator perubahan sosial yang sejati. ([email protected].)