KOLAKAPOSNEWS.COM, Kolaka - Sejumlah warga Dusun 2 Lawania, Desa Oko-Oko, Kecamatan Pomalaa, Kabupaten Kolaka, mendatangi kantor DPRD Kolaka, Senin (4/8). Kedatangan warga desa meminta agar DPRD Kolaka menyelesaikan sengketa lahan yang sudah berlarut-larut tanpa kejelasan hukum.
Salah seorang pemilik lahan, Nazar mengatakan masyarakat sudah cukup lama merasa menjadi korban, karena lahan yang telah digarap puluhan tahun telah diambil alih oleh pihak perusahaan tanpa ada kejelasan.
"Ini warga kan sudah cukup lama jadi korban sebenarnya ini. Lokasinya itu tanaman mete itu umur 30 tahun, entah bagaimana sudah diserobot oleh perusahaan. Tapi sampai sekarang kejelasannya tidak ada. Dan memang ada keanehan," ujarnya.
Ia menjelaskan berbagai upaya telah dilakukan untuk memperjuangkan hak atas lahan tersebut, namun hingga saat ini belum membuahkan hasil. Bahkan, ia mencurigai ada praktik mafia tanah di balik persoalan ini.
"Kami memperjuangkan hak kami ini sebagai pemilik lahan. Bahkan, sebenarnya kami temui semua pihak. Tapi ada keanehan memang. Karena itulah saya selalu menyuarakan bahwa ini ada mafia di dalamnya. Kalau memang perusahaan sudah membeli lokasi, datangkan siapa yang membeli. Mari kita turun ke lokasi. Apakah betul lokasi ini yang dibeli," tegasnya.
Ia juga mempertanyakan keabsahan sertifikat yang disebut-sebut dimiliki pihak perusahaan. "Kalau memang ada sertifikat yang katanya rahasia, penjualnya juga rahasia, mari munculkan fotocopynya saja. Atau sebut saja namanya siapa yang tertera di sertifikat. Tapi saya yakin tidak akan ada, karena kami paham betul soal ini. Sertifikat itu disimpan, dibawa lari. Makanya tidak ada yang berani munculkan sampai sekarang," tegasnya.
Ia mengungkapkan, masyarakat telah menempuh berbagai jalur untuk menyelesaikan persoalan ini, mulai dari pemerintah desa hingga kepolisian, namun hasilnya nihil.
"Pertemuan-pertemuan sudah hampir enam bulan. Kami sudah ke IPIP, rumah Pak Desa, kantor desa, PT Rimau, DPR, Polres juga sudah. Bahkan menduduki lokasi dua kali. Tapi hasilnya sama, semua serba rahasia," ujarnya.
Ia menambahkan, dirinya mengaku kecewa karena hal-hal mendasar seperti nama penjual dan lokasi transaksi tidak pernah diungkap.
"Masa menyebut nama dan tempat pembelian saja susah? Kalau merasa ada sertifikat, tunjukkan fotokopinya. Tidak usah bilang rahasia-rahasia, kan repot itu. Sementara kami selalu diminta dokumen oleh DPRD. Setiap kami ketemu, kami diminta. Dan kami selalu memberikan. Tapi sekarang kami tidak mau lagi, karena belum ada kejelasan," jelasnya.
Nazar mengaku memiliki lahan seluas 6 hektare, dan kelompoknya yang lain juga memiliki luasan yang sama. Total lahan yang disengketakan itu telah dimanfaatkan oleh perusahaan untuk jalan hauling.
"Saya punya 6 hektare. Di kelompok kami juga ada 6 hektare, jadi total 12 hektare. Yang satu kena jalan hauling. Lahan saya sendiri sudah jadi jeti dan stoppile sekarang. Itu lokasi kami," ungkapnya.
Meski demikian, ia tetap membuka ruang dialog dengan perusahaan jika memang ada itikad baik untuk menyelesaikan masalah.
"Kami tidak menutup diri. Kalau memang perusahaan merasa punya hak, mari kita duduk bersama. Tunjukkan siapa yang menjual, tunjukkan sertifikatnya. Jangan pakai alasan rahasia. Kalau mau selesaikan, mari kita turun ke lapangan. Pak Nasar bisa ikut. Kita lihat bersama, apakah ini betul-betul lahan yang dimaksud," ujarnya.
Ia menambahkan, dirinya bersama dengan warga lain akan tetap memperjuangkan haknya. "Saya tidak akan berhenti memperjuangkan hak kami," tandasnya.
Menanggapi hal tersebut, Ketua DPRD Kolaka, I Ketut Arjana mengatakan, pihaknya telah menerima langsung massa aksi dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di ruang Komisi I.
Ia menilai bahwa isu lahan tersebut cukup kompleks dan membutuhkan data yang lengkap sebagai dasar tindak lanjut.
"Tadi kita langsung terima untuk RDP di ruang Komisi I, saya sendiri hadir bersama wakil ketua DPRD dan Pak Ahmad Musakir dari Komisi I. Kita sangat terbuka dengan aspirasi seperti ini. Saya senang karena ini bagian dari kerja DPR ke depan," ujarnya.
Menurutnya, DPRD bersedia memfasilitasi penyelesaian, namun masyarakat diminta menyerahkan dokumen yang relevan. "Mereka ingin RDP jalan terus, tapi tanpa dokumen kami tidak bisa bekerja. Kami butuh data untuk menindaklanjuti ke instansi terkait, seperti BPN, pemerintah desa, dan lainnya," jelasnya.
Ia menambahkan, meski demikian pihaknya berencana akan melakukan rapat dengar pendapat lanjutan.
"Kita sudah rencanakan RDP lanjutan, tapi karena menjelang 17 Agustus ini agendanya padat, maka dijadwalkan setelah perayaan," tandasnya.
Sementara itu, Wakil Ketua DPRD Kolaka Syafullah Halik mengatakan pihaknya segera menjadwalkan mediasi lanjutan agar konflik tidak berlarut-larut. Ia menegaskan, investasi harus berjalan berdampingan dengan penghormatan terhadap hak-hak masyarakat.
"Hari ini kita akan menjadwalkan untuk memediasi kembali, karena persoalan ini tidak boleh berlarut-larut. Harus ada kejelasan baik dari pihak perusahaan maupun pemilik tanah, supaya tidak ada yang dirugikan," tegasnya.
Ia menambahkan bahwa DPRD menyambut baik hadirnya investor di Kolaka, namun perusahaan tidak boleh menutup mata terhadap realitas sosial yang ada. "Kami menyambut baik investasi di Kolaka, tapi jangan sampai hak masyarakat dikorbankan. Harus ada titik temu agar semua pihak tidak merasa dirugikan. Silakan berinvestasi, kami apresiasi. Tapi hak masyarakat harus jadi perhatian. Itu harus diprioritaskan dan diselesaikan agar semuanya berjalan baik. Itu harapan kami," tandasnya.
Untuk diketahui, warga desa Lawania minta DPRD Kabupaten Kolaka atas Konflik Agraria yang terjadi di Dusun 2 Lawania Desa Oko Oko Kecamatan Pomalaa, terkait dugaan Penyerobotan Lahan seluas sekitar 6 hektar dan perusakan tanaman milik warga Nasar Cs oleh pihak pengelola PT Rimau.
Sebelumnya, dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi 1 DPRD Kolaka pada 13 Juni 2025, telah dihasiikan kesepakatan bahwa lahan yang disengketakan tersebut tidak boleh ada aktivitas dari kedua belah pihak baik dari warga maupun dari pihak PT Rimau sampai adanya kejelasan hukum dari legalitas kepemilikan.
Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa kesepakatan tersebut telat dilanggar secara sepihak oleh pihak PT Rimau, dengan tetap melakukan aktivitas atau pun dari pihak lain yang menjadikan stock file karena sebab akibat dari PT Rimau atas lahan seluas sekitar 6 hektar tersebut. (hrn)