KOLAKAPOSNEWS.COM, SOROWAKO - Di tengah semakin masifnya ekspansi industri pertambangan di Indonesia, PT Vale Indonesia menunjukkan bahwa kegiatan tambang tak selalu berakhir dengan kerusakan lingkungan. Melalui program reklamasi pasca tambang dan rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS), perusahaan ini telah mengubah lahan bekas galian menjadi kawasan hijau yang produktif dan berkelanjutan.
PT Vale Indonesia mengembangkan pendekatan reklamasi progresif berbasis ekosistem. Hingga April 2025, tercatat seluas 5.969,96 hektare bukaan lahan tambang, dengan pencapaian reklamasi akhir mencapai 3.819,64 hektare. Area ini bukan hanya ditanami, tetapi juga ditata kembali secara ekologis agar fungsinya menyerupai kondisi hutan alam.
Setiap tahapan dilakukan sistematis, mulai dari penutupan lubang tambang, pembentukan kontur lereng, pengendalian erosi, penebaran tanah pucuk yang menyimpan biji-biji alami, hingga penanaman tanaman penutup tanah seperti rumput bermuda dan legum. Setelah tanah mulai stabil, ditanamlah pohon-pohon lokal dan endemik seperti eboni, dengen, uru, hingga bitti.
"Itu (reklamasi, red) hanya untuk penambangan, diluar fasilitas penunjang. Jadi rasio antara bukaan tambang dengan reklamasi itu sekitar 65 persen. Untuk jumlah tanaman yang sudah ada di area reklamasi, kita sudah menanam lebih dari 5,1 juta tanaman yang terdiri dari tanaman pionir (tanaman awal), tanaman lokal dan endemik," beber Nismayani, Junior Reclamation Engineer PT Vale Indonesia, di area Nursery, Sabtu (26/7).
Hasilnya tidak instan. Dalam foto udara yang terpajang di papan informasi Nursery, perubahan paling nyata terlihat setelah satu dekade. Lahan yang semula terlihat memerah dan tandus, kini berubah menjadi hutan muda yang rimbun. Bahkan di beberapa lokasi yang direklamasi sejak 15 tahun lalu, tumbuhan perintis, pepohonan tinggi, dan burung mulai kembali hadir.
"Untuk perbandingannya antara kondisi awal dan setelah reklamasi sangat jelas. Dari segi regulasinnya, komposisi tanaman dalam reklamasi lahan tambang adalah 60 persen tanaman endemik lokal dan 40 persen tanaman pionir. Ini merupakan standar penanaman, karena tanaman pionir membantu memulihkan lahan yang rusak, sementara tanaman endemik memastikan keberlanjutan ekologis jangka penjang," jelasnya.
Tak berhenti di lahan tambang, PT Vale juga menjalankan program Rehabilitasi Daerah Aliran Sungai (DAS) di luar area konsesi tambang. Tujuannya adalah menjaga keseimbangan hidrologis, menyerap karbon, serta mendorong keterlibatan masyarakat lokal dalam pelestarian lingkungan.
Hingga April 2025, program ini telah menjangkau 33.306 hektare total lahan, dengan 17.746 hektare telah ditanami, serta lebih dari 12 juta pohon ditanam.
Program ini menyebar di 17 kabupaten di Sulawesi Selatan, empat kabupaten di Sulawesi Tengah, dan enam kabupaten di Sulawesi Tenggara, serta beberapa daerah di Jawa Barat dan Bali. Yang menarik, proses ini melibatkan lebih dari 1.500 warga lokal, tidak hanya sebagai tenaga tanam tetapi juga dalam pembibitan dan monitoring.
Salah satu aspek menarik dari program ini adalah dokumentasi terbuka. Peta reklamasi, data luas lahan, jenis tanaman, hingga jumlah bibit yang ditanam dipublikasikan secara transparan. Ini bukan hanya bentuk tanggung jawab, tapi juga alat edukasi dan kontrol sosial. Langkah ini penting di tengah sorotan publik terhadap industri tambang yang sering dianggap destruktif.
"Tentunya, jalan menuju reklamasi sempurna bukan tanpa tantangan. Kualitas tanah yang rusak, iklim yang tidak menentu, serta konflik lahan menjadi ujian tersendiri. Namun dengan pendekatan berbasis ilmu dan pelibatan masyarakat, hasilnya mulai terlihat nyata," ungkap Akbar, Supervisor Nursery & Reclamation PT Vale Indonesia.
Model reklamasi dan rehabilitasi PT Vale patut menjadi rujukan nasional, terutama dalam konteks Indonesia yang tengah giat mendorong hilirisasi tambang dan transisi energi. Jika reklamasi bisa dirancang sejak awal, bukan setelah kerusakan terjadi, maka pertambangan berkelanjutan bukan sekadar wacana. (wir)