Keramik Tiongkok Merajalela, Industri Lokal Tak Berdaya

  • Bagikan
KOLAKAPOS, Jakarta--Industri granit dan keramik domestik makin terjepit akibat derasnya produk impor. Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (Asaki) Hendrata Atmoko menyatakan, industri keramik belum merasakan perbaikan penjualan pada semester pertama tahun ini. Kenaikan permintaan justru dinikmati importir keramik. ’’Buktinya, angka impor keramik tercatat mengalami kenaikan signifikan pada 2016 dibandingkan 2015,” tutur Hendrata Angka impor keramik pada 2016 mencapai 87 juta meter persegi. Angka tersebut meningkat sekitar 30 persen ketimbang impor keramik sepanjang 2015 sebesar 50 juta meter persegi. Sebanyak 85 persen keramik impor berasal dari Tiongkok. Sisanya berasal dari Vietnam maupun Thailand. ’’Utilisasi produsen keramik lokal saat ini hanya mencapai 30 persen dari total kapasitas lantaran terdesak impor,’’ ujarnya. Jumlah keramik dan granit impor di dalam negeri mengalami kenaikan sebesar 28 persen. Misalnya, keramik porselen kelas B1 A dan B1 B dengan total impor 48 juta meter persegi atau dua kali kapasitas produksi di dalam negeri. Sedangkan produksi granit dan keramik lokal drop 20 sampai 30 persen. Pihaknya meminta pemerintah membatasi pelabuhan untuk impor keramik dengan hanya dua pelabuhan, yakni di Dumai (Kepulauan Riau) dan Bitung (Sulawesi Utara). Dua pelabuhan tersebut sengaja dipilih lantaran berada di luar Jawa. Menurut Hendrata, mayoritas pabrik dan pasar keramik berada di Jawa. ’’Jika impor masuk dari luar Jawa, saat dipasarkan di Jawa masih terkena ongkos logistik. Jadi harganya tidak terlalu murah. Saat ini kirim barang dari Tiongkok ke Medan lebih murah daripada Medan ke Jakarta,” beber Hendrata. Pihaknya pun meminta pemerintah segera menurunkan harga gas industri untuk industri keramik. Dia menambahkan, konsumen menuntut harga keramik dan granit murah. ”Padahal, biaya produksi naik terus dan harga gas industri juga belum turun. Pemerintah sudah menjanjikan sejak Oktober 2015 lalu,” ujarnya. Saat ini, industri keramik masih harus membayar harga gas senilai USD 9,1 per mmbtu. Padahal, pemerintah telah menjanjikan per 1 Januari 2017 harga gas turun menjadi USD 6 per mmbtu. Apalagi, harga gas menyumbang 30 sampai 40 persen dari total biaya produksi keramik lokal. Jika harga gas bisa ditekan sesuai permintaan industri, hal tersebut mampu meningkatkan efisiensi produksi keramik maupun granit lokal. ’’Jika tidak, dikhawatirkan produsen keramik dan granit lokal akan beralih menjadi importir,” ujarnya. Hendrata menyebutkan, sebesar 50 persen dari total tenaga kerja di industri granit lokal sudah dirumahkan lantaran penurunan produksi. (jpnn)
  • Bagikan