Praktisi: Pengelolaan CSR Oleh ASN Berpotensi Korupsi

  • Bagikan

KOLAKAPOSNEWS.COM, Kolaka -- Dana CSR PT.Vale sebesar Rp9 miliar dikelola oleh Komite yang dibentuk atas kesepakatan bersama Pemkab Kolaka dan PT.Vale. Dana tersebut, tidak dimasukkan dalam APBD dan tidak melibatkan DPRD Kolaka.

Praktisi hukum Kolaka, Yahyanto, menilai dana CSR memang tidak wajib untuk disetorkan kepada pemerintah terlebih dahulu dan dimasukkan ke dalam APBD. CSR, dapat langsung digunakan oleh perusahaan untuk memenuhi tanggungjawab sosialnya ke masyarakat. Hal itu sesuai Pasal 74 Undang-Undang Nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.

Namun hal tersebut menjadikan pemanfaatannya lemah dalam pengawasan. Dengan pengawasan yang lemah, dikhawatirkan akan memancing penyimpangan. Apalagi jika yang mengontrol dana CSR adalah mereka yang belum teruji.

Nah, terkait pembentukan komite Yahyanto menilai keliru jika menempatkan ASN sebagai pihak ketiga dalam pengelolaan CSR. "Pengelolaan dana CSR oleh ASN dapat berpotensi korupsi sesuai dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi perubahan atas UU Nomor 31 tahun 1999 berbentuk jenis tindak pidana antara lain: Pasal 5 suap-menyuap; Pasal 8 penggelapan dalam jabatan; Pasal 12 Pemerasan, Pasal 12 huruf(i) Benturan kepentingan atau Pasal 12 B ayat (1) gratifikasi," terang Yahyanto.

Karenanya, jika CSR dikelola oleh eksekutif, maka imbasnya menjadi wajib untuk diketahui oleh DPRD. “Anggaran yang tidak masuk dalam pengawasan dikwatirkan akan memancing penyimpangan, apa lagi yang control dana CSR adalah orang tertentu. Menurut saya dana CSR yang dikelola eksekutif wajib hukumnya diketahui oleh DPRD," kata dekan Fakultas Hukum USN Kolaka ini ketika dimintai tanggapannya terkait polemik pengelolaan CSR PT.Vale di Kolaka.

Ia membeberkan, ada empat model yang didapat dilakukan perusahaan dalam pengelolaan CSR, yaitu keterlibatan langsung perusahaan, melalui yayasan, bermitra dengan pihak lain, dan bergabung dengan konsorsium.

Masih menurut Yahyanto, memaksa memasukkan CSR ke dalam APBD, juga dapat dikatakan kekeliruan. Sebabnya, dana tersebut merupakan dana perusahaan untuk pemberdayaan masyarakat di sekitar wilayah perusahaan. Akan tetapi kecenderungan dana CSR di luar APBD juga tidak bisa dikontrol dan berpotensi untuk disalahgunakan.

"Sebagai jalan keluar maka semestinya dana CSR dapat dilakukan langsung perusahaan atau bermitra dengan pihak lain. Ada aturan lain PP No 28 tahun 2018 sebagai kerjasama daerah atau adanya aturan Permendagri Nomor 33 Tahun 2019 tentang Pedoman Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Tahun Anggaran 2020, dalam aspek hukum maka akan berlaku asas hukum yakni berlaku asas “Superior derogate legi inferior” artinya hukum yang tinggi mengesampingkan hukum yang rendah” atau kalau dua-duanya mengatur aturan yang sama. Maksudnya perusahaan mempunyai pegangan undang-undang, pemerintah daerah mempunyai aturan sebagai pegangannya maka berlaku asas “lex spesialis derogate regeralis” artinya aturan yang khusus mengalahkan aturan yang umum”. Saya melihat aturan CSR bersifat khusus, jadi aturan yang umum bisa dikesampingkan," jelasnya.

Lebih jauh Yahyanto menjelaskan, meskipun tidak dimasukkan dalam APBD, pemerintah bisa saja meminta pihak perusahaan agar dana CSR dapat menalangi suatu pekerjaan yang merupakan tanggungjawab pemerintah, namun tidak dikerjakan karena keterbatasan anggaran. "Menurut saya bisa saja, bahkan ini sangat baik kalau perusahaan yang melakukan usaha tersebut. Ini akan berdampak positif dan model seperti ini yang menurut saya aman untuk dilakukan dari pada dimasukkan dalam APBD akan berpotensi bermasalah hukum," ujar Yahyanto.

Apabila pengelolaan dana CSR dipihakketigakan maka perusahaan dapat melakukan pengawasan. "Kalau dana CSR itu dari perusahaan swasta maka pihak pemberi dana CSR yang dapat mengawasi dana tersebut. Kalau dana CSR dari perusahaan daerah atau negara maka pemerintah dalam hal ini yang bisa mengawasi adalah BPKP atau BPK karena sebagian dana merupakan dana pemerintah daerah atau dana pemerintah pusat," katanya.

Seperti diketahui, PT.Vale menggelontorkan CSR sebesar Rp9 miliar di Kolaka. Dana tersebut dikelola oleh tim komite dikoordinatori oleh Asisten II Setda Kolaka, Mustajab. Sejumlah pihak menduga pengelolaan anggaran CSR tersebut tidak transparan. Buktinya, salah satu item pembangunan CSR PT.Vale berupa gedung pemuda yang saat ini masih berjalan tidak menyertakan nominal anggaran pada papan proyek. Proses penentuan pemenang tender proyek pun dipertanyakan. (kal)

  • Bagikan