Serapan Tembakau oleh Pabrikan Menurun Tajam
KOLAKAPOS, Jakarta--Penyerapan tembakau oleh pabrikan rokok menurun tajam pada 2016 lalu, yakni hanya 50,4 juta ton. Jumlah itu menurun 30 persen dibandingkan 2015 lalu yang mencapai 151,2 juta ton. Koordinator Media Center Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) Hananto Wibisono mengatakan, hal itu disebabkan rendahnya kualitas hasil panen tembakau pada 2016. Faktor lainnya dalah minimnya produksi tembakau yang hanya 67,2 juta ton atau turun 60 persen pada 2015. ”Itu pun petani masih harus mengulangi penanaman tembakau sampai dua kali, bahkan tiga kali. Sebab, setelah petani tanam, lalu mati dan ditanam lagi,” katanya. Kemarau basah mengakibatkan kadar air pada tembakau tidak konstan. Selama ini, produksi tembakau di tanah air belum bisa memenuhi kebutuhan dari pabrikan. Di antara total kebutuhan pabrik rokok yang mencapai 320 ribu ton per tahun, produksi tembakau hanya tercatat 168 ribu–200 ribu ton. Hananto menyatakan, pabrikan biasanya memiliki buffer stock tembakau untuk produksi selama dua sampai tiga tahun. ”Jadi, impor tidak serta-merta dilakukan pada tahun ini. Kalau menurut hitungan sederhana, bisa jadi, kenaikan impornya baru pada dua sampai tiga tahun mendatang,” terang Hananto. Apalagi, produksi rokok dari tahun ke tahun cenderung menurun. Berdasar data Ditjen Bea dan Cukai, produksi rokok pada 2016 menurun 1,67 persen. Dari 348 miliar batang pada 2015 menjadi 342 miliar batang pada 2016. Sementara itu, Sekretaris Jenderal Formasi (Forum Masyarakat Industri Rokok Indonesia) Suhardjo menyatakan, sejak September hingga Oktober 2016, pabrikan terus membeli tembakau simpanan petani dan pedagang. ”Pabrikan besar memang waswas untuk antisipasi buffer stock dua tahun ke depan. Sementara itu, stok pabrikan kecil hanya bisa mencukupi kebutuhan satu musim,” ujarnya. Dia menjelaskan, pabrikan saat ini masih berharap produksi tembakau tahun ini bisa pulih sehingga menutup kekurangan produksi pada 2016. Ketua Paguyuban Mitra Pelinting Sigaret Kretek Indonesia (MPSI) Djoko Wahyudi menyatakan, selama ini, produksi tembakau lokal mayoritas digunakan memenuhi kebutuhan produksi SKT (sigaret keretek tangan). Sementara itu, sigaret keretek mesin (SKM) 75 persen menggunakan tembakau impor. ”Ini dipengaruhi taste dan beberapa jenis tembakau untuk SKM memang tidak bisa ditemukan di Indonesia. Dalam satu batang rokok saja, bisa ada campuran 15 jenis tembakau,” terang Djoko. Dia menambahkan, takaran penggunaan tembakau untuk satu batang SKT sama dengan tiga batang SKM. Padahal, produksi SKT dari mitra pelinting sigaret pada 2016 menurun 30 persen sehingga berdampak pada penurunan kebutuhan tembakau. (jpnn)