‘Take or Pay’ Listrik Swasta Memberatkan PLN
KOLAKAPOS, Jakarta--Pemerintah disarankan memberi kesempatan pada Perusahaan Listrik Negara (PLN) untuk berperan lebih besar dalam mewujudkan target pembangunan pembangkit listrik 35 ribu Megawatt hingga 2019 mendatang. Bukan justru bergantung pada pihak swasta atau independent power producer (IPP). "Kan ada dalam APBN subsidi listrik yang tidak tepat sasaran, itu bisa juga dialihkan. Bisa digunakan untuk membangun itu (Pembangkit listrik) PLN dengan APBN," ujar Direktur Eksekutif Indonesia Resourcea Studies (Iress) Marwan Batubara, dalam diskusi yang digelar Serikat Pekerja (SP) PLN di Jakarta, kemarin. Marwan yakin, lewat peran perusahaan plat merah lebih dominan dalam penyediaan listrik di Indonesia, maka harga listrik bisa menjadi lebih murah. Bukan justru mengharuskan PLN membeli listrik dari pihak swasta, lewat kebijakan take or pay yang diberlakukan saat ini. "Harus ada keberanian dan konsistensi dari pemerintah. Jangan malah PLN dibuat tak mampu dan memberi kepada swasta untuk membangun," tuturnya. Skema take or pay kata Marwan, sebenarnya sah-sah saja diberlakukan. Sepanjang diterapkan secara objektif dan tidak merugikan salah satu pihak. Namun sayangnya pada pelaksanaan di lapangan, kebijakan tersebut justru merugikan PLN. Seperti kasus PLTU Bukit Asam, Sumatera Selatan, perusahaan plat merah tersebut terpaksa berhenti beroperasi. Karena PLN diharuskan membeli listrik yang diproduksi perusahaan swasta. Padahal harganya jauh lebih mahal dari yang diproduksi PLTU Bukit Asam. "Kebijakan seperti ini harus ditolak, karena sangat merugikan dan mengerdilkan peran PLN sebagai perusahaan milik negara. Kalau take or pay 60 atau 70 persen masih oke, tapi kalau 100 persen harus ditolak. Karena ujung-ujungnya nanti malah rakyat yang menanggung bebannya," pungkas Marwan. (gir/jpnn)