Daging Kerbau Juga Impor, Setelah Itu Apa Lagi?
KOLAKAPOS, Jakarta--Pemerintah akan segera mengimpor daging kerbau untuk menutupi kebutuhan nasional.
Direktur Pengadaan Bulog Adrianto Wahyu Adi mengatakan, rencana impor 100 ton daging kerbau dari India itu dikeluarkan dalam rakortas Kemenko Perekonomian pada 20 November 2017.
“Memang ada rencana (impor), tapi rekom dari kementerian belum terbit,” kata Adrianto.
Rekomendasi impor itu, lanjut dia, dikeluarkan Kemendag yang diteruskan pada Kementerian BUMN yang akan menugasi Perum Bulog. Impor akan dilakukan secara bertahap pada awal 2018.
Tujuan impor adalah menghindari lonjakan harga daging. Per 19 Januari 2018, stok daging sapi di gudang Bulog masih 10.800 ton.
Dengan asumsi kebutuhan 6.000 ton per bulan, stok itu terbilang masih cukup. Namun menjelang Idul Fitri pada pertengahan tahun, stok dikhawatirkan menipis.
“Menjelang hari raya dikhawatirkan harga akan naik,” kata Adrianto. Dia menjamin pemerintah tidak akan melakukan impor daging sapi. Daging kerbau akan dilepas ke pasaran dengan harga Rp 80 ribu per kilogram.
Tujuannya adalah menciptakan alternatif konsumsi daging bagi masyarakat. Memang peminatnya belum banyak.
Tapi dia yakin bertahap masyarakat akan beralih. “Secara otomatis nanti harga daging sapi ikut stabil, seberapa jauh masih kami teliti,” katanya.
Namun, rencana itu diprotes peternak. “Seperti tahun lalu, kebijakan impor daging kerbau terbukti banyak mudharatnya daripada manfaatnya,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI) Teguh Boediyana.
Menurut Teguh, mahalnya harga daging sapi lokal adalah kesalahan pemerintah sendiri. Pemerintah dinilai gagal mewujudkan swasembada daging sapi.
“Program swasembada daging sapi 2010 dan dilanjut 2014 telah gagal,” katanya.
Implikasinya adalah 50 persen pemenuhan daging sapi (setara 250 ribu ton) harus diimpor. Karena harus diimpor, harga daging dipengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dolar dan harga internasional.
Mantan Sekretaris Kementerian BUMN Said Didu menilai kebijakan impor cukup terlambat. Beras, contohnya. “Seharusnya diimpor sejak September tahun lalu,” katanya.
Menurut dia, kesalahan pemerintah paling mendasar adalah menetapkan indikator kesuksesan pengelolaan pangan dengan kondisi tanpa impor.
Akibatnya, kondisi pasar sangat reaktif saat mendengar kebijakan impor. ''Pada suatu kondisi kita harus impor, itu hal yang biasa,” timpalnya.
Seharusnya, indikator keberhasilan pangan adalah kesejahteraan petani atau peternak dan kestabilan harga.
Secara timing, kebijakan impor komoditas pada awal sangat tidak tepat. Saat ini harga-harga sudah terlanjur naik. (jpnn)