Harga Gabah Anjlok Jelang Panen Raya, Petani Menjerit
KOLAKAPOS, Jakarta--Memasuki panen raya tahun ini, harga gabah di beberapa sentra produksi beras nasional mulai anjlok. Padahal, minggu lalu harga gabah kering panen (GKP) di daerah-daerah masih berkisar di atas Rp5.000 per kilogram.
Anjloknya harga gabah mendapat keluhan dari para petani, karena mereka tidak bisa menikmati keuntungan dari hasil kerja kerasnya.
Semiyati, salah seorang petani di Desa Keyongan, Nogosari, Boyolali, Jawa Tengah, menyalahkan rencana pemerintah yang akan impor beras. Dia menganggap hal itu justru akan membuat harga gabah semakin turun.
"Harga jual gabah yang rendah bisa membuat petani merugi. Biaya produksi padi cukup tinggi, karena harga pupuk dan biaya tenaga kerja juga tinggi," kata Semiyati.
Selain itu, kata Semiyati, impor beras akan membuat petani malas menanam padi karena harga gabah murah.
"Saat panen terakhir, harga gabah di tingkat petani sangat bagus, sehingga para petani bersemangat menanam padi. Petani pun sangat menjaga sawahnya dari serangan hama dan penyakit tanaman," jelas Semiyati.
"Petani kecewa, ketika panen raya harga gabah cenderung turun mencapai harga terendah. Kalau harga agak lumayan, kami semangat," tambahnya.
Semiyati pun mengharapkan pemerintah tidak melakukan impor beras. "Kalau bisa enggak usah impor, biar harganya bagus lagi, Pak Jokowi kan dari sini, tolong dong dengar tetangganya sendiri,” ujarnya.
Senada dengan Semiyati, Ketua Gabungan Kelompok Tani 'Tani Makmur' Desa Ketitang, Mulyono, meminta agar pemerintah membatalkan impor beras. Menurutnya, petani tidak meminta banyak dari pemerintah, yang penting pemerintah bisa menjaga harga jual gabah stabil.
“Saya mohon tidak perlu impor beras, biar harga gabah di petani stabil, tidak rendah sekali," tutur Mulyono.
Menurut Pomo, Sekretaris Dinas Ketahanan Pangan Boyolali, pekan lalu harga jual GKP di lapangan berkisar antara Rp 5.200 sampai Rp 5.300 per kilogram. Namun saat ini, anjlok menjadi Rp4.700 per kilogram di tingkat petani.
Masalah produksi dan kebutuhan beras di Boyolali, menurut Pomo, hingga Desember tahun lalu, daerahnya surplus beras sekitar 540 ribu ton.
"Kelebihan beras dijual untuk memenuhi kebutuhan daerah sekitar, seperti Purwodadi, Demak, dan Semarang. Untuk cadangan juga masih cukup. Barang ada di rumah tangga," ujar Pomo.
Pomo menambahkan bahwa saat ini petani hanya khawatir rencana impor beras di saat panen raya. "Kalau jadi impor, kasihan petani. Nanti malah malas nandur (menanam), karena harga gabah terlalu murah. Apa petani tetap mau nanem, kalau sudah dihantui harga turun, ada impor, ya lemes jadinya,” tambahnya.
Tak beda dengan Ketua Kelompok Tani Timbul Jaya Desa Pleset, Pangkur, Ngawi, Jawa Timur, Purwoto Eko Yuwono. Dia mengatakan, pada awal panen bulan ini, petani bisa menjual GKP seharga Rp 5.200 per kilogram. Namun, saat ini harga gabah anjlok sampai Rp 4.800 per kilogram.
“Awal panen bulan ini harga bagus, petani senang. Tapi, sekarang ini hampir panen raya, semakin hari semakin turun. Petani tentu kecewa karena panen sudah ditunggu tiga bulan, hasilnya untuk bayar utang segala macam, kok harganya malah turun,” kata Purwoto.
Purwoto menambahkan, seluruh lahan sawah anggotanya mencapai 328 hektare siap panen, dengan rata-rata produksi 8,5 ton per hektare. Hasil produksi dijual ke luar kota, karena surplus sangat besar.
Terkait rencana impor beras, para petani di Pangkur menurut Purwoto menyalahkan pemerintah, karena menyebabkan para tengkulak dan pengepul tidak mau membeli gabah petani dengan harga bagus seperti panen sebelumnya.
“Rencana impor akan membuat petani semakin terpuruk. Kan aneh, waktu panen banyak kok malah impor? Kami jelas tidak terima," kata Purwoto.
"Kami punya gabah melimpah. Jangan petani terus jadi korban,” tambah Purwoto sambil meminta pemerintah mengkaji ulang rencana impor beras.
Sementara itu, Kepala Dinas Pangan dan Perikanan Kabupaten Ngawi, Sunito menyatakan, produksi beras para petani Ngawi dari luas lahan sawah mencapai 45 ribu hektare berjumlah 750 ribu sampai 800 ribu ton per tahun. Dari jumlah itu, penduduk Ngawi hanya menggunakan sekitar 20 persennya saja. Dengan kata lain, sebanyak 80 persen hasil produksi beras Ngawi dipasarkan ke daerah lain.
“Makanya, kami minta jangan impor saat ini. Panen raya sudah mulai, mau beli beras masih ada banyak kok, enggak bakal kesulitan. Ini Ngawi dan sekitarnya saja sudah cukup, selalu over produk,” ujar Sunito.
Ketua KTNA Kabupaten Pati, Jawa Tengah, Juharto menyatakan, petani mulai resah dengan rencana pemerintah mengimpor beras. Petani juga menyebutkan, rencana impor tersebut merupakan biang keladi atas kondisi harga gabah yang turun saat ini.
“Dua pekan lalu kita jual gabah panen yang manual Rp 5.800 per kilogram, sekarang tinggal Rp 4.800 per kilogram. Petani se-Kabupaten Pati minta supaya impor dibatalkan. Pati ada surplus ratusan ribu ton beras. Kalau impor diteruskan, kita dianggap bangsa yang bodoh karena nggak bisa bertani,” ujar Juharto.(jpnn)