Nino, Atlit Kolaka Peraih Tiga Emas Untuk Butur
Lahir dan besar di Wundulako, keinginan Nino membela Kolaka pada Porprov ditolak. Dengan hati hancur, Nino membelot untuk membela Buton Utara agar dapat menuntaskan dendam. Hasilnya manis. Nino memboyong tiga medali emas untuk Butur pada cabor balap sepeda, Porprov XIII Kolaka.
La Ode Kaulia, Kolaka
Enam, tujuh, delapan, sembilan, sepuluh. Sepuluh orang berurutan masuk ke dalam ruang lobi salah satu hotel di Kolaka, dengan raut ceria, saling mencandai satu sama lain. Nampaknya mereka baru saja kembali dari makan, karena terus menyinggung makanan yang telah mereka santap dalam candaannya. "Cepatmi, kita sudah mo jalanmi. Itumi terlalu banyak ko makan," gurau satu diantaranya.
Dari usianya, mereka terlihat sepantaran mahasiswa, sekitar 18 sampai 20 tahunan. Rata-rata mereka memiliki tinggi sekitar 160an sentimeter, dengan badan tegap atletis. Hanya satu diantara mereka yang tampak beda, tinggi sekitar 150cm, berperawakan kecil dan rajin mengumbar senyum kepada siapa saja. Namun dari sepuluh orang yang seakan berlomba masuk ke hotel, hanya wanita mungil itu saja yang berhenti sejenak, memperhatikan dan bertanya. "Kak, kita wartawan Kolaka Pos?," celetuknya dengan alis yang diangkat sedikit dan bibir tersenyum.
Wanita itu ternyata Sitti Aisyah Uzwatun Hasanah, akrab dipanggil Nino. Meski berperawakan mungil, dia merupakan peraih tiga medali emas di Porprov XIII Kolaka melalui cabor balap sepeda. Pesepeda asli Kolaka kelahiran 1999 itu merupakan peraih medali emas nomor ITT 20 kilometer, criterium 40 kilometer dan road race 80 kilometer. Itu jika hanya menilainya melalui Porprov kali ini. Karena dua tahun sebelumnya, dia juga tercatat sebagai kontingen Sultra dalam pra PON cabor Handball di Samarinda. Ia mengantongi medali perunggu sebagai kiper tim pra PON Sultra. Diusia 15 tahun, ia juga telah mengikuti Porprov di Buton Utara tahun 2014 pada cabor atletik nomor lari jarak menengah dan mengantongi medali perunggu.
Meski memiliki bakat sebagai atlit serba bisa, namun bakat olahraganya mulai tumbuh dari kesenangannya bersepeda. Hal itu diungkapkan oleh ibu Nino, Fatmawaty Gadjang yang belakangan ikut gabung dalam perbincangan. Sejak kecil, Nino sudah memiliki kemahiran bersepeda. Bukan cuma mengayuh, tetapi juga melakukan atraksi. Ketika Nino masih di Taman Kanak-kanak, Nino sudah lincah bersepeda sambil mengangkat ban. Bukan cuma ban depan, sering kali Nino juga beratraksi dengan mengangkat ban belakang. "Saya masing ingat, pertama kali saya belikan sepeda harga Rp350 ribu. Sepedanya kecil, untuk dipake anak TK kan," ujar Fatmawaty yang juga guru di salah satu SD di Kolaka ini.
Namun demikian kata ibunya, Nino justru pertama kali mengikuti kompetisi olahraga sebagai atlit nomor lari. Ibunya tampak mengernyitkan dahi sambil melihat ke langit-langit untuk mengingat tahun pertama Nino berlomba sebagai atlit. "Waktu itu dia masih kelas empat SD," ingatnya samar-samar. Tahun itu timpal Nino, ia mendapatkan medali emas pada Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN) tingkat Kolaka untuk selanjutnya menjadi wakil Kolaka pada O2SN tingkat Sultra.
Sejak lahir, hingga tamat SMP, Nino menghabiskan waktu sebagai warga Kolaka di kecamatan Wundulako. Masuk SMA, Nino memilih melanjutkan studi di SMA 4 Kendari. Meski terpisah jauh dari kedua orangtuanya, namun kegemaran Nino berolahraga malah semakin tinggi. Hal itu tidak lepas dari motivasi yang ditanamkan tantenya di Kendari. "Kebetulan di sana (Kendari) ada tante saya mantan atlit. Dia juga punya kenalan pelatih-pelatih nasional yang salah satunya menjadi pelatihku," kenang Nino.
Karena rutin berlatih lari, Nino diikutkan seleksi atlit Porprov nomor lari mewakili Kota Kendari untuk Porprov XII Buton Utara. "Saya diminta tanteku untuk mewakili kota Kendari di Porprov Butur, dan saya meraih medali perunggu," jelasnya.
Setelah Porprov Butur, ia ditawari bergabung bersama tim handball Sultra untuk mengikuti pra PON handball di Samarinda. Bergabung di cabor handball kata Nino terjadi karena kebetulan saja. Hanya karena ia sering bermain futsal sebagai kiper. Nah, saat tim handball kekurangan pemain, iapun diminta bergabung. Setelah sukses membawa medali perunggu dari pra PON itu, Nino kembali ke Sultra. Tapi saat itu Cabor Handball telah dihapus dari cabor di Sultra, yang berdampak pada keikutsertaan handball Sultra di tingkat nasional.
Karena "lowong", Nino kemudian dipanggil berlatih sepeda, bersama Sri Wahyuni Lenohingide yang juga teman dari tantenya di Kendari. Panggilan itu membuatnya antusias, membangkitkan kembali gairah masa kecilnya yang belum terbayar tuntas. Demi kecintaanya akan sepeda, Nino mengaku berlatih keras agar menjadi atlit sepeda sukses sesuai keinginan pelatihnya. Motivasinya bertambah ketika pelatihnya jatuh sakit dan akhirnya menghembuskan nafas terakhir di rumah sakit. Apalagi, pesan terakhir pelatihnya sebelum meninggal, ingin melihat Nino berlaga di Porprov dan membawa satu medali emas.
Menceritakan kepergian pelatihnya itu cukup membuat Nino sedih. Sekitar 30 detik kemudian berlalu tanpa satu kata darinya. Ia menerawang dengan mata yang berkaca-kaca menahan tangis. "Saya sudah anggap pelatihku seperti orang tua sendiri," lirihnya membuka percakapan. "Tapi sekarang pak Sutoyo (Sutoyo Lenohingide, ayah dari mendiang Sri Wahyuni Lenohingide) yang menjadi pelatihku," tambah putri dari Muh. Yamin.
Berbekal hasil latihan, motivasi dari mendiang pelatih dan keinginan untuk pulang kampung, membawanya kembali ke Kolaka. Ia memimpikan berlaga sebagai atlit membela nama tanah kelahirannya, Kolaka. Namun keinginannya itu hanya bertepuk sebelah tangan. Ia tidak diakomodir dengan alasan belum memiliki "nama" pada cabor balap sepeda. "Saya dari dulu ingin sekali menjadi atlet perwakilan kampung halamanku sendiri. Beberapa kali saya ke Kolaka, tawarkan diri untuk masuk atlet balap sepeda kepada pengurus ISSI (Ikatan Sepeda Sport Indonesia) ternyata saya ditolak. Katanya, kamu belum ada nama di balap sepeda, jadi kita ndak bisa ambilki. Kemudian tidak lama saya datang lagi untuk meyakinkan kembali ke pengurus ISSI Kolaka bahwa saya bisa dapat medali untuk tanah kelahiranku, dan waktu itu akhirnya diiyakan. Tapi ternyata hingga dekat Porprov ini saya tidak dipanggil juga. Tapi saya tidak menyerah, akhirnya pelatihku yang datang ke sini (Kolaka) untuk ketemu pengurus ISSI ternyata mereka ndak mau juga. Ya sudah karena Porprov sudah dekat pelatihku mencari daerah yang bisa menampung saya," kisahnya.
Dengan penuh kekesalan karena ditolak di kampung halamannya sendiri, Nino akhirnya memilih berlabuh di Butur. Ia menjadi atlit Butur bersama tiga temannya sesama atlit binaan Sutoyo Lenohingide. Kombinasi antara keinginan membuktikan diri dan membalas penolakan yang diterimanya dari ISSI Kolaka, memacu Nino mengeluarkan kemampuan terbaiknya di Porprov. "Saya tidak pernah juga membayangkan meraih tiga emas. Tapi medali ini merupakan jawaban dari permintaan terakhir pelatihku. Kalau ke Kendari, akan saya kalungkan medali ini di nisannya," ujar mahasiswa semester 3 jurusan ilmu komunikasi ini. (***/ema)