Ana, Gadis Belia Penjual Dipinggir Jalan – Berjualan Hingga Larut, Ingin jadi Polwan

  • Bagikan
Tidak semua kehidupan masa kecil itu indah. Banyak diantara kita yang masa kecilnya dihabiskan dengan gelut dan geliat ekonomi. Ana salah satunya. Gadis belia asal kabupaten Muna itu, berjualan hingga tengah malam demi membantu ekonomi keluarganya. Ahmad Evendi, Raha Pukul 22.00, temaram lampu jalan di poros Ahmad Yani kota Raha mulai meredup tertutup embun. Rerumputan ditepi jalan mulai menunduk menahan beban air embun diujung daun. Seorang anak perempuan yang sejak tadi duduk meringkuk dipinggiran aspal, semakin dalam menekuk dengkulnya, kedinginan. Dia hanya beralaskan kardus bekas dengan ukuran sekitar 0,5 x 1 meter dan beratapkan langit. Tidak ada selimut untuk menghangatkan badan, namun ia tidak beranjak. Sitti Nur Hasanah namanya. Gadis belia berumur 11 tahun itu tetap setia di tempatnya memperhatikan kendaraan yang hilir mudik. Sejak sore, siswi kelas V Sekolah Dasar di Duruka, Muna yang biasa disapa Ana itu, duduk di depan mesjid Baitul Makmur, sekitar alun-alun kota Raha untuk menjajakan dagangannya. Sehari-hari ia memang berjualan gogos dengan harga tiga gogos Rp5 ribu, jambu air satu kantongan Rp5 ribu, kacang goreng sekantong Rp15 ribu, roti satu seribu rupiah dan telur rebus dua buah Rp5 ribu. Beberapa kali dia teriak menjajakan dagangannya kepada pengemudi yang berhenti tidak jauh dari tempatnya. Meski sudah larut untuk anak usia sekolah, semangat Ana tetap menggebu. Tidak jarang dia diabaikan meski teriak kencang. Baginya itu sudah biasa. Bahkan beberapa kali ia beranjak dari lesehannya untuk menyapa pengendara yang berdiri agak jauh darinya untuk menjajakan dagangan. Tidak nampak gurat rasa malu dan segan di wajahnya. Rasa lapar bila dagangan tak laku, lebih kuat mendorongnya untuk terus menjajakan dagangan. Dapat ditebak, Ana bukanlah berasal dari keluarga "berada". Ia mengatakan ibunya juga pekerja keras sepertinya. Untuk mencari makan, ia dan ibunya harus berjualan di pinggir jalan. Hal itu sudah dilakoninya sekitar dua tahun. "Saya bantu mamaku, dia jual mie siram dan kopi panas di Tugu Jati taman Kota Raha. Ini jualan mamaku yang bikin," katanya. Ana tidak sendirian menjual. Disekitar situ, ada dua anak yang kira-kira seusia dengannya. Sehari-hari, mereka biasa menjual hingga pukul 22.00, tapi terkadang lebih dari itu. Namun sebenarnya waktu pulang, tidak bergantung dari mereka sendiri. Jika sudah dijemput oleh masing-masing orang tuanya, itulah pertanda waktu pulang. Anak keenam dari delapan bersaudara itu menjelaskan, jika dagangannya habis terjual, ia dapat mengumpulkan uang hasil dagangannya hingga Rp200 ribu. "Biasa habis, biasa juga hanya Rp50 ribu, kadang Rp 150 ribu," ungkapnya. Malam kian larut, kini waktu sudah menunjukkan pukul 22.30. Mata Ana yang sejak tadi setia mengawasi pengendara dan dagangannya, mulai redup. Sesekali ia terlihat terantuk dalam posisi duduk meringkuk. Sempat merebahkan badan, Ana terbangun menepuk nyamuk yang hinggap dibadannya. Beberapa kali adegan itu terulang, sampai tak ada lagi terdengar suara Ana, dia tertidur. Pukul 22.40, seorang pembeli menghampiri lapak Ana. Dengan wajah lesuh, ia melayani pembeli. "Kacang Rp 15ribu satu bungkus," ucapnya sembari menggaruk-garuk kepalanya. Dengan aktifitas yang tidak ideal bagi anak seumurannya itu, apa masa depan yang terbayang dimata Ana? "Kalau di seoklah saya rengking 10. Saya mau jadi Polwan kak," katanya. (***)
  • Bagikan