Pengusaha Retail Harus Paham, Orang Belanja tak Mau Ribet
KOLAKAPOS, Jakarta--Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menilai, langkah beberapa perusahaan retail menutup gerainya bukan dipicu menurunnya daya beli masyarakat. Melainkan pola belanja masyarakat yang sudah berbeda.
”Kelompok milenial ini cara belanjanya berbeda,” ujar Enggar kemarin. Menurutnya kini masyarakat lebih simple dalam berbelanja.
Enggar mengatakan, banyak orang yang mulai enggan berbelanja memilih barang, mengelilingi lorong. Masyarakat cenderung datang berbelanja sesuai tujuannya.
Hal inilah yang menurut Enggar perlu dipahami para pengusaha retail. Sehingga mereka bisa menyesuaikan diri.
Misalnya, perusahaan retail harus memiliki brand yang spesifik. ”Memang ada perpindahan online tapi offline tetap bisa (bertahan, Red),” katanya.
Selain soal cara belanja yang berbeda, toko retail harus mulai melirik daerah yang “masih sepi”. ”Kalau terlalu berdekatan, pasti ada yang menjadi korban,” jelasnya.
Senada dengan pernyataan Enggar. Managing Director Supermal Karawaci Heru Nasution mengakui bahwa saat ini pelaku usaha retail offline perlu melakukan inovasi pada bisnisnya.
Sebab, Heru menganggap bahwa gerai usaha yang tutup adalah karena tidak mendapat manajemen dan inovasi yang baik.
”Jika sebelumnya hanya berbasis pada consumer based, retail sekarang ini perlu mengedepankan experience based. Nilai itu yang dijual sehingga konsumen punya alasan untuk berbelanja di mal,” ujar Heru.
Heru menambahkan bahwa retail yang meredup tak sepenuhnya karena tergerus online. Sebab, secara porsi kontribusi, penjualan online masih sangat kecil dibandingkan offline.
”Jika kami lihat angkanya masih ada di kisaran 1,2 sampai 1,8 persen. Itu kecil sekali. Artinya potensi segmen retail offline juga masih sangat terbuka,” tambahnya.
Penasihat Asosiasi Pengusaha Retail Indonesia (Aprindo) Handaka Santosa menganggap dalam kondisi saat ini bisnis offline dan online perlu bersaing dengan fair.
Untuk itu, pengusaha berharap pemerintah segera mengetok palu tentang regulasi penjualan online.
”Ada banyak hal yang perlakuannya tidak sama, misalnya soal SNI produk yang dijual. Di bisnis offline semua barang yang kami jual harus sesuai SNI, tetapi online tidak ada yang mengontrol. Selain itu tentu saja soal pajak. Beban pajak untuk offline sangat banyak dimana itu tidak terbebani di bisnis online,” ujar Handaka.
Pelaku usaha sendiri tak menampik meski porsinya masih kecil, peningkatan online sangat pesat. Peritel offline pun saat ini berusaha mengintegrasikan kekuatan online untuk mendukung bisnis onlinenya.
”Jadi sekarang kami juga push layanan online dimana konsumen bisa melihat dan memilih barang via aplikasi, untuk kemudian di pick up di gerainya langsung di mall,” beber Handaka.
Sementara itu, menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto, share transaksi online terhadap perdagangan dalam negeri masih terbilang sedikit. Meskipun pertumbuhannya luar biasa.
“Tapi sampai saat ini kami belum punya angka pasti, tiap lembaga riset punya versinya sendiri-sendiri, kami akan padukan,” katanya.
Meski demikian, Suhariyanto menyebut bahwa BPS pun telah melakukan beberapa survey kecil-kecilan terhadap penggunaan transaksi online dalam konsumsi rumah tangga. Temuannya, dari 10 ribu rumah tangga, hanya 15 persen diantaranya yang pernahmelakukan transaksi online.
Selain itu, komoditas yang diperjualbelikan dalam online juga masih terbatas pada peralatan elektronik, seperti handphone berbagai aksesoris seperti jam tangan. Paling besar adalah untuk membeli tiket pesawat, kereta api, memesan hotel, serta berbagai akomodasi perjalanan lainnya.
“Kalau komoditas-komoditas besar seperti pangan atau beras tidak pakai online,” jelasnya.
Saat ini, BPS tengah berunding dengan asosiasi pengusaha online Indonesia E-Commerce Association (IDEA) untuk merumuskan dan memetakan besarnya transaksi ekonomi digital pada total perekonomian nasional. “Data-data transaksi online, mereka sudah punya,” katanya.
Menurut Suhariyanto, perlu ditentukan kriteria konsumsi rumah tangga yang baru dalam transaksi online.
Dalam metode yang konvensional, BPS biasanya menggunakan klasifikasi konsumsi rumah tangga yang sudah diuji dengan standar internasional. “Klasifikasinya disamakan dulu, kalau tidak sama, nanti semuanya bingung,” ungkapnya.
Perlu juga mendeteksi komoditas apa yang akan menjadi tren ke depan. Selain itu, perubahan transaksi online juga begitu cepat.
Suhariyanti menjelaskan, saat ini e-commerce bisa digolongkan menjadi dua, formal dan tidak formal. Formal adalah penjualan barang di platform toko-toko online yang terkemuka seperti Tokopedia, Bukalapak, Lazada ataupu Zalora.
Disamping itu, saat ini tengah berkembang penjualan tidak formal. “Seperti ibu-ibu yang menjual barangnya lewat facebook, itu kan transaksinya online, tapi bayarnya tidak,” kata Suhariyanto.
Gejala semacam ini juga perlu dirumuskan kedepan, namun kata Suhariyanto pemerintah bakal fokus pada transaksi yang formal terlebih dahulu. “Semoga kita cepat dapat picture (gambaran,Red),” ungkapnya. (jpnn)