Politikus Gerindra : Daya Beli Terus Anjlok, Jangan Berkelit
KOLAKAPOS, Jakarta--Kinerja pemerintah dalam memperbaiki perekonomian masyarakat kembali disorot oleh Anggota Komisi XI DPR Heri Gunawan.
Politikus Gerindra itu meminta Presiden Joko Widodo dan jajaran pemerintah tak usah berkelit lagi soal melemahnya daya beli masyarakat.
"Daya beli terus tertekan, pemerintah tak usah berkeli," ujar Heri.
Dia menyeburkan, menurut data BPS, pertumbuhan ekonomi di kuartal III-2017 sebesar 5,06 persen. Namun, konsumsi rumah tangga justru turun dari 4,95 persen menjadi 4,93 persen. Menteri Keuangan, Sri Mulyani, menyebut hal itu sebagai anomali daya beli.
Heri menegaskan bahwa laporan BPS itu telah mengonfirmasi daya beli masyarakat sedang tertekan. Itu terjadi sejak kuartal II-2017.
Di kuartal tersebut, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 5,01 persen, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2016 yang mencapai 5,18 persen.
Penurunan itu ditandai dengan tekanan pada daya beli masyarakat yang diukur dari konsumsi rumah tangga yang hanya mencapai 4,95 persen.
Di kuartal III lebih parah lagi. Konsumsi rumah tangga terjun ke angka 4,93 persen. Padahal, ekonomi tercatat tumbuh sebesar 5,06 persen.
Kesimpulan yang bisa ditarik dari angka-angka tersebut menurut politikus asal Jawa Barat ini, pertama, sedang terjadi distorsi pada daya beli masyarakat yang tak bisa dibantah.
Distorsi itu terjadi dan dirasakan terutama pada 40 persen masyarakat kelas bawah atau miskin.
Hal tersebut, lanjut dia, terlihat dari upah buruh sektor riil yang terus turun, serta nilai tukar petani (NTP) yang mengalami penurunan.
Pada kelas menengah juga kurang-lebih sama. Itu dapat dilihat pada pergeseran dan penghematan konsumsi karena uang yang terbatas.
Kedua, bahwa meski ekonomi dilaporkan tumbuh di kuartal III, namun itu tidak memiliki tricle down effect. Sektor riil terus tertekan.
"Saya mensinyalir bahwa ekonomi tersebut hanya bisa dinikmati oleh kelas atas yang saat ini menguasai hampir 39 persen pendapatan nasional," ucap Heri.
Dia pun menambahkan, tertekannya daya beli itu lalu berimbas pada penurunan kinerja industri ritel yang hanya mampu tumbuh di angka 5 persen, industri barang konsumsi kemasan hanya tumbuh 2,7 persen.
Ini terungkap dalam Survei Nielsen yang disebut-sebut sebagai pertumbuhan paling rendah dalam 5 tahun terakhir.
Survei Nielson tersebut mengungkap bahwa distorsi daya beli tidak terjadi pada masyarakat kelas atas yang jumlah tak lebih dari 20 persen.
"Ini menjadi bukti bahwa sistem ekonomi yang dijalankan sekarang belum memenuhi amanat konstitusi untuk memajukan kesejahteraan umum. Yang terjadi adalah ada persen orang melakukan penguasaan atas 39 persen kekayaan nasional. Ini adalah masalah serius yang harus segera diatasi," pungkasnya. (jpnn)