KOLAKAPOS, Unaaha -- Terendus nya kasus Desa fiktif sebanyak 56 desa di Kabupaten Konawe awal 2019 lalu sempat menghantarkan nama daerah kekuasaan Saiful Konggoasa Bupati jadi terkenal dan mendadak populer di semua media cetak maupun elektronik tanah air.
Nama bupati Konawe yang saat ini yang diduga kuat bertanggung jawab dibalik kasus Desa fiktif tetapi sederet nama lain termasuk nama Wakil gubernur Sultra Lukman Abunawas mantan bupati Konawe 2 periode wakil bupati Konawe saat ini Gusli Topan Sabhara yang juga mantan ketua DPRD Konawe termasuk Ketua dan wakil ketua DPRD Konawe saat ini Ardin dan Rusdianto.
Namun entah apa alasan sehingga kasus tersebut lenyap dan tenggelam Ditelan Bumi setelah melakukan proses tarik-menarik kepentingan dari awal terbongkarnya kasus ini ditangani oleh pihak Polres Konawe karena dianggap lambat Penanganannya lalu diambil oleh Polda Sultra dan karena di Polda juga sama maka terakhir diambil alih pula oleh KPK dan BPKP karena dalam perjalanan kasus tersebut ditemukan indikasi penyelewengan dana yang cukup besar nilainya di antaranya dana desa dan sejumlah dana bantuan lainnya yang pernah ada sejak desa-desa tersebut dinyatakan ada.
Adalah lembaga swadaya masyarakat LSM Kasasi Sultra melalui Direkturnya Suwardin Senin kemarin 26 Mei 2020 kepada kolakapos mengatakan jika dirinya atas nama lembaga yang dipimpin puluhan tahun juga atas nama masyarakat Konawe ia akan mendatangi langsung pihak-pihak terkait di pemerintahan pusat khususnya di Komisi Pemberantasan Korupsi KPK.
Dengan segudang bukti dokumen hasil investigasinya serta bukti-bukti pendukung lainnya ia akan berkolaborasi dengan penegak hukum dan lembaga anti korupsi di Jakarta. Tinggal tunggu waktu dan suasana yang tepat kata mantan anggota TNI baret merah ini. Ditegaskan Oleh Direktur LSM kasasi ini bahwa kalau soal lambat dan cepat nya Penanganan dan proses penyelesaian sebuah kasus itu soal hak konstitusi yang yang menangani kasus tersebut tetapi kalau sampai 4 tahun atau ditarik ulur dari Polres ke Polda lalu ke KPK terus ke BPKP kemudian kembali lagi ke Polres dan seterusnya tentu warga masyarakat bertanya-tanya ini ada apa gerangan kata Suardin.
Yang aneh lagi sudah terbukti adanya Desa fiktif sebanyak 56 sesuai data penyidik kepolisian sejak Februari 2019 tetapi mana dan siapa tersangkanya Apa itu kepala desa fiktif atau merencanakan dan yang menyebabkan lahirnya desa-desa perspektif tersebut. Kemudian hitungan saya kalau sejak 2016 ke 56 desa fiktif ini menerima dana bantuan DD misalnya berarti 56 Desa * 700 juta rupiah dikali 4 Tahun Anggaran tentu dapat kita bayangkan berapa puluh miliar rupiah dana uang negara yang tidak jelas arah penggunaannya Siapa yang digunakan di mana digunakan dan i mana pula bukti pertanggungjawabannya. Itu sederhananya yang paling penting dan sangat penting lagi adalah nasib atau status warga ribuan KK atau puluhan ribu jiwa di balik dugaan Desa fiktif 56 desa. Karena warga di sana sudah terdaftar dan resmi menjadi warga di suatu desa meski belakangan ditemukan selaku Desa fiktif mereka punya bukti KTP KK dan rumah tinggal di wilayah desa tersebut.
Ironisnya ketika muncul kasus Desa fiktif sejak awal 2019 segala bentuk dana bantuan Entah dari pusat maupun daerah disetop imbasnya warga yang ada di desa tersebut ikut disetop bantuan bantuannya karena desa desa tetangga yang merupakan desa induk mereka sudah tidak lagi menganggap jika mereka ini adalah warga mereka melainkan sudah lama pindah Desa sejak 2015 lalu jadi otomatis tidak punya hak lagi untuk mendapat semacam bantuan beras miskin alat-alat pertanian bantuan sosial lainnya hingga terakhir dana BLT DD masih menurut LSM kasasi Sultra.
Lalu ada pula yang sepertinya janggal bagi kami yakni menurut keterangan sejumlah kepala desa yang terindikasi fiktif mereka masih menjalani Wajib Lapor atau hadir sekali seminggu di Polda Sultra meski tidak dijelaskan Apa tujuan dan maksud para Kades Kades ini berkantor di Polda selama hampir 3 tahun ini. Kemudian kami secara bukti dan nyata jika dari 56 besar terduga titip terdapat banyak banyak Desa didalamnya yang jauh lebih sukses pembangunannya dan jauh lebih memenuhi syarat dibanding dengan desa lain yang tidak masuk an an daftar hitam mereka memanfaatkan betul dana desa dan melaksanakan segala program pembangunan di desa mereka namun akhirnya terindikasi sebagai Desa fiktif. Semua sangat membingungkan masyarakat di balik kasus ini sehingga saya berpendapat jika Desa fiktif Memang benar ada atau malah cuma dugaan fiktif dan penanganannya yang serba fiktif. (K11/c/hen)